Lelaki Sepi
Ceritakan padaku tentang sepi, katamu. Ah, tapi sudah terlalu banyak cerita tentang sepi. Apakah masih akan menarik bercerita perihal yang telah berulang dikisahkan seperti itu? Lalu bagaimana membuat cerita seperti itu menarik? Memang tak ada yang menarik. Tapi kau telah memintanya dan aku senantiasa ingin menuruti kemauanmu. Maka biarlah kuceritakan saja.
Namanya tak penting benar. Atau setidaknya dalam kisah ini—bila kau menganggap perlu memberi sebuah nama untuknya—kau bisa memberinya nama sesuai dengan keinginanmu, tak akan berpengaruh apa-apa. Yang jelas, ia adalah lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Maka begitulah, ia senantiasa meminta kekasihnya untuk menemaninya. Ia tak bisa tidur tanpa ada dekap kekasihnya. Ia tak mampu menelan makanannya tanpa kekasihnya yang mengangsurkan suap. Ia tak sanggup mandi bila kekasihnya tak menuang air hangat dan menyiapkan handuk. Ia tak dapat keluar rumah jika kekasihnya tak menjemput. Sungguh, ia ingin senantiasa bersama kekasihnya. Setiap malam, sebelum benar-benar lelap dalam buai kekasihnya, ia berdoa agar esok terbangun dalam rahim kekasihnya, terbangun sebagai cikal janin yang tak akan pernah keluar dari perut ibunya. Selamanya jadi bakal janin. Selamanya bersama-sama kekasihnya. Selamanya merasa aman dalam nyaman lindungan kekasihnya. Ia mengira mencintai kekasihnya dan baginya begitulah cinta yang mesti diwujudkan.
Ia lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Sebab itulah ia senantiasa menulis puisi cinta buat kekasihnya. Ia berkata, ”selama aku masih mencintaimu, aku akan terus menulis puisi cinta untukmu.” Kau tak akan sanggup menghitung berapa banyak puisi yang ia tulis untuk kekasihnya. Ia juga sering berdoa, ”bila aku tak dapat tinggal di rahimnya, izinkan aku menjadi sebait puisi yang ia sukai, yang ia hafal, yang sering ia lantunkan. Aku ingin tinggal di lidahnya, menjadi sesuatu yang kerap ia sebut.” Ia menyangka mencintai kekasihnya dan tak ada cara lebih tepat menunjukkannya selain melalui puisi.
Ia lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Ia menganggap telah sempurna mencintai kekasihnya dan berharap kekasihnya melakukan hal serupa: mencintainya dengan sempurna pula. Dan kekasihnya memang mencintainya. Sangat mencintainya. Mencintai dengan cara yang berbeda dari yang ia yakini. Wanita itu mengerti bahwa ia tak sepenuh hati mencintai. Wanita itu paham mengapa si lelaki ingin senantiasa ditemani dan menulis puisi. ”Sungguh itu bukan cinta,” bisik wanita itu. ”Hanya yang takut pada sepi yang senantiasa ingin ditemani, hanya untuk membunuh sepi ia menulis beratus sajak cinta.” Barangkali inilah alasan wanita itu kerap terlihat malas-malasan menemani si lelaki berjalan di taman pagi-pagi atau membaca seantologi sajak dengan tebal ratusan halaman yang ditulis oleh lelaki kita dalam kisah ini.
Namun wanita itu memang mencintainya. Cinta yang membuat wanita itu bertahan dengan itu semua. Dan cinta pulalah yang pada akhirnya membuat wanita itu meninggalkan lelaki kita ini. Selalu ada yang mesti dikorbankan atau ikhlas berkorban dalam cinta bukan? Dan wanita itu memilih yang kedua: ikhlas berkorban. Ketika ketakutan akan sepi yang diderita lelaki kita kian hebat hingga bahkan dalam mimpi pun menuntut wanitanya untuk hadir dan menemani menulis atau membaca puisi, maka wanita itu merasa mesti ada yang dikerjakan untuk menyelamatkan kejiwaan lelaki kita ini. Bagaimana menyingkirkan rasa takut pada sepi bila tak langsung menantangnya? Maka demikianlah, wanita itu meninggalkan lelaki kita. Meninggalkannya sendiri dalam sepi, meninggalkannya sendiri untuk melawan sepi.
Maka kini lelaki kita sendirian. Merasa kesepian. Tak ada lagi yang membenarkan selimut selimut yang melorot ketika ia tidur. Tak ada yang mengambilkan nasi atau menjerang air buat mandinya. Tak ada senyum yang menemaninya menulis puisi, tak ada sorot lembut menatapnya. Tak ada semua yang selama ini membuatnya kuat. Ia merasa payah, merasa tak sanggup lagi melangkah.
Dan pada sebuah malam kesekian yang senantiasa menyiksanya dengan kenangan, ia melihat wajah bulan. Wajah yang berbeda dengan wajah-wajah bulan pada malam-malam sebelumnya. Wajah yang tergantung di langit itu serupa benar dengan wajah kekasih yang meninggalkannya. Ia segera keluar rumah. Menuju halaman dan berdiri diam di sana sambil mendongak ke atas, ke aras bulan bulat itu. Tiba-tiba lelaki kita ini ingin menulis sajak cinta lagi.
Tapi bulan sempurna bundar yang mirip wajah kekasih yang meninggalkan lelaki kita ini tak setiap hari bersinar. Pelan-pelan bulan akan mencengkung, membentuk sabit untuk kemudian benar-benar lenyap di ujung bulan penanggalan Jawa. Tapi bulan akan muncul lagi. Awalnya serupa noktah, lalu kembali membentuk sabit dan bundar sempurna pada tengah bulan dalam kalender Jawa. Dan ia merasa tak mampu menunggu begitu lama untuk melihat wajah indah itu. Maka ia berdoa agar bulan senantiasa purnama.
Namun bulan tak mungkin selalu purnama. Ada putaran musim, aliran angin, ketinggian air laut, masa panen dan tanam, sampai waktu laku ilmu tertentu yang bergantung pada rotasi dan evolusi bulan. Semua mesti berjalan sesuai kodratnya. Maka sekhusyuk apa pun lelaki itu berdoa, bulan akan tetap mengalami sabit, melalui bulan mati dan pasti kembali purnama tengah bulan.
Lelaki kita itu, sungguh keras hati kali ini. Ia tak ingin lagi ditinggal kekasihnya. Ia ingin menjadi yang pertama menyambut ketika wajah kekasihnya itu perlahan sembul dan ingin menjadi yang terakhir mengucap sampai jumpa sewaktu kekasihnya beranjak redup. Ia memutuskan tak bergerak dari halaman bahkan saat mentari terbit. Kau tahu, kadang-kadang kau masih bisa menyaksikan bulan menjelang siang walau sinarnya tenggelam dalam pancaran matahari. Bagimu mungkin itu tak penting. Namun lelaki kita ini menganggapnya sesuatu yang haram terlewatkan. Kalau kau pernah mendengar orang-orang tua berujar bahwa cinta bisa membuat seseorang menjadi bodoh dan melakukan hal-hal yang tak masuk akal, maka lelaki kita ini adalah amsal ujaran itu. Ia tak beranjak dari halaman, berhari-hari, berminggu- minggu selain untuk makan atau buang air.
Namun langit tak hanya menyimpan wajah indah kekasihnya yang hilang atau kilau cerlang bintang-bintang. Langit juga mempunyai mendung dan hujan, kilat dan badai, matahari dan cahaya panas. Tak ada yang mampu menghentikan mereka menjalankan tugas. Maka beginilah, selama beberapa malam mendung tebal tergantung di langit untuk kemudian tumpah menjadi hujan dan badai, menabur kilat dan dingin. Namun pada siang harinya, matahari bersinar teramat cerah, mendedah panas yang menyiksa. Kejadian seperti itu terjadi pada tengah bulan hitung-hitungan Jawa. Pada masa di mana semestinya purnama terlihat sempurna.
Lelaki itu tak juga beranjak. Telah lama ia memendam rindu. Hitunglah sendiri berapa lama ia tak bersua wajah kekasihnya itu setelah tengah bulan kemarin purnama yang terakhir. Badai yang menghajar tubuhnya malam-malam atau panas yang meremas tubuhnya tak membuatnya bergerak. Ia kecewa sebab mendung tebal menghalanginya melihat wajah indah bulan dan berharap langit kembali ramah segera. Namun langit cerah ketika pagi telah sepenggalan dan bulan tak lagi terlihat. Ia tetap tak bergerak. Berharap keajaiban, berharap bulan kesiangan.
Ia telah lama bertahan. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Ia hanya masuk ke rumah untuk makan dan minum dengan tergesa dan buru-buru kembali ke halaman. Ia kuat. Tapi tidak kali ini. Tiga malam dihajar badai dan tiga hari digempur panas yang sangat. Ia merasa tubuhnya lemas dan panas. Pada malam keempat ia jatuh. Ia mengira tertidur. Ia seperti bermimpi.
Ia melihat kekasih yang meninggalkannya dulu telah menjelma bulan. Bulan yang senantiasa ia nanti. Bulan itu tak tergantung di langit seperti yang selama ini ia lihat. Bulan itu begitu dekat dengannya, bahkan menyatu dengan dirinya. Terletak di hatinya. Bulan itu berkata, ”kalau kau benar-benar mencintaiku, kau akan tahu bahwa aku selalu menemanimu tanpa harus mendekap tidurmu, menyiapkan air hangatmu atau mengangsurkan suapanmu. Kau akan tahu bahwa aku selalu bersamamu sebab aku tinggal di hatimu dan senantiasa di sana. Aku tak pernah ke mana-mana.”
Lelaki kita itu ingin bangun. Tapi tak bisa. Tubuhnya tak dapat bergerak. Maka ia putuskan untuk pergi tanpa tubuhnya. Pergi menuju hatinya yang menyimpan bulan. Ia lihat tubuhnya telah begitu payah.
Sirajatunda
Ibarat pohon, benakku saat ini adalah sebuah pohon pengetahuan yang besar dan kokoh, dedaunannya rimbun hijau, sepanjang cecabangnya sarat bergelantungan dengan buah-buah pikiranku. Matang dan siap petik. Sebuah panen raya dengan tari-tarian dan lagu rakyat, penuh hidangan di meja panjang, begitulah aku membayangkan, saat duduk di depan meja kerja dan menyalakan komputer. Kutegakkan punggungku. Kurasakan kebulatan tekad dan ketangguhan, bahkan militansi yang segar. Aku telah lebih dari siap melahirkan sebuah karya utama kesusastraan yang tiada tara: novel tentang Rakai Garung alias Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra.
Delapan tahun lamanya kubaktikan diriku untuk mempersiapkan mahakarya ini; kukunjungi banyak perpustakaan, kukumpulkan buku-buku dan artikel, kuwawancarai para pakar yang paham sejarah dan fasih berbahasa Sansekerta atau Jawa Kuno, bahkan di tahun kelima ketika menikah, bulan maduku adalah wisata ke Candi Borobudur yang sang raja rampungkan. Dengan keseriusan dan gelora membara yang demikian, aku yakin tulisanku—yang pasti bakal epik—niscaya menjulang tinggi di antara segala karyaku yang lain, baik yang tidak diterbitkan atau yang ditelantarkan. Satu-satunya bukuku pernah terbit sembilan tahun lalu, yaitu sebuah novel yang tak laku. Setelah itu belum ada lagi, dan ini gara-gara istriku.
Sekian ratus upayaku menulis selalu digagalkannya. Setiap kali aku sedang asyik membayangkan plot, intrik, dan hampir sampai pada poin-poin penting kemungkinan cerita novelku, setiap kali itu pula istriku muncul dan bicara hal-hal remeh. Selalu tepat waktu. Seakan dia bisa mengendus dari jauh kapan saja kumulai proses imajinatif benakku, lalu datang menghancurkan bakal buah pikiranku di saat-saat genting. Seakan dia tahu kapan waktunya memperalat pikiranku untuk hal-hal tak penting. Perangai buruknya sama saja dengan orang-orang di kantor yang gemar mengajakku bicara ini itu, melibatkanku dalam sejuta urusan. Terlalu. Kupikir semua mereka lahir ke dunia untuk bersekongkol memberantas karya artistik manusia.
Baru tadi sore kubilang pada istriku, kenapa kau begini anti-Hawa? Semua orang tahu, Hawa yang menggoda Adam ke pohon pengetahuan, kenapa kau justru ingin aku jauh-jauh dari pohonku, malah ingin menghancurkannya? Kenapa kau selalu membasmi buah pikiranku dan menyabot proses penciptaan bukuku?
Diam-diam aku senang, setelah sekian kali mengancam akan pulang, setelah menjerit-jerit padaku hampir sejam lamanya, sore tadi istriku sungguhan pulang ke rumah orang tuanya. Tak sadar dirinya telah memberkahiku sebuah malam Minggu bersejarah untuk akhirnya kumulai novel sejarahku, sejak maghrib hingga subuh nanti. Aku menatap kertas putih di layar laptop dan berpikir, sebaiknya kumulai dengan mempersiapkan semacam suasana yang tepat bagi kerja intelektualku ini, apalah arti sejam dua jam di malam ini dibanding delapan tahun persiapanku.
Aku lalu sibuk mencari paduan pencahayaan yang tepat antara lampu kuning di sudut ruangan (untuk melembutkan suasana), lampu duduk neon putih di atas meja (untuk mencegah kantuk dan menerangi berkas), dan lampu neon di tengah ruangan (agar tetap waspada). Kuputar-putar tombol lampu kuning untuk menyetel tingkat ketemaraman yang tepat, kulengkung-lengkungkan gagang lampu duduk untuk mencari derajat yang pas bagi jatuhnya sinar agar mataku tak silau. Kemudian kurapikan sebukit referensiku; buku-buku, berkas dan bundel catatan yang berantakan lantaran telah ditendang istriku sebelum dia keluar—kukira kakinya pasti agak sakit oleh tendangan sekeji itu. Istriku lalu pergi ke kamar mengepak baju dengan berisik dan menyemprotkan minyak wangi pada dirinya secara berlebihan. Dia tahu aku tak suka wangi parfumnya. Bau musykil itu kini merebak di dalam rumah, khususnya di kamar kerjaku, sebab dia sempat masuk menenteng koper untuk menjerit lagi sebelum banting pintu –mungkin jeritan jangan cari aku atau semacam itulah. Bahkan ketika dia sudah tak ada, baunya sengaja ditinggalkan untuk berkuasa, seakan diberi mandat khusus untuk terus menggangguku.
Aku membuka lebar-lebar pintu dan jendela, mengangin-anginkan ruang. Empat jam lamanya aku bersibuk dalam persiapan menulis. Referensiku sudah rapi, malah aku sempat menikmati secangkir kopi sebagai pelepas lelah sambil memutar lagu-lagu, hingga suatu saat kusadari betapa cepat waktu berlalu. Buru-buru aku kembali ke depan meja.
Aku mulai memikirkan kalimat pertamaku. Ini kalimat yang sungguh penting, penentu seluruh isi buku, begitu pikirku, mesti orisinal. Saat kupikirkan perkara pentingnya kalimat pertamaku, tiba-tiba kupikir ada baiknya minum segelas air putih terlebih dulu. Aku perlu menenangkan diri, lagi pula banyak minum air putih itu baik, seperti pesan para dokter. Aku pergi menenggak segelas air di atas rak, tiba-tiba membayangkan jus nanas dari kulkas. Kuomeli diriku sendiri, jangan tergoda, sekali keluar dari kamar, aku sangat mungkin akan berkeliaran di seantero rumah. Maka dengan bijaksana, kuputuskan duduk lagi. Lima menit menatap karser kelap-kelip dengan agak jemu, kuputuskan mengecek email sebentar. Aku terbawa suasana, klik sana-sini ke berbagai situs internet. Sejam lebih aku wara-wiri sebelum tiba-tiba ingat novelku. Kuomeli lagi diriku, kekurangdisiplinan semacam ini tak boleh dipiara.
Aku duduk tegak dan mulai mengerahkan segenap kemampuan imajinatif dan intuitifku untuk kalimat pertama. Ketika salah satu bakal pikiranku tengah genting menguntum, mendadak sikuku gatal. Saat kugaruk, melesatlah seekor nyamuk menuju kupingku, berdenging nyaring. Tahu-tahu sepasukan nyamuk datang menyerang sekujur badanku, menukik dalam pelbagai manuver semahir pilot pesawat tempur. Nyamuk patriot sialan, keluhku dalam hati sambil bangkit menutup pintu jendela.
Melanjutkan berpikir, dudukku tak lagi bisa tegak. Aku dibikin sibuk menepuk dan menggaruk badanku yang gatal dan merah di sana-sini oleh terjangan nyamuk. Aku pura-pura tak peduli. Namun dalam batinku, aku merasa sangat dirugikan sebab kini mesti berpikir sambil mewaspadai mereka. Kewaspadaanku yang kian meningkat, di saat yang sama, telah menindas pikiranku. Bagaimana aku bisa memunculkan buah karya, jika para nyamuk begitu beringas memberantas buah pikiranku? Jangankan sempat berbuah-buah, berbunga saja tidak, kuntum pun belum. Aku sebal memikirkan nyamuk komplotan istriku, sebal badanku gatal-gatal. Kesebalan berganda itu membuatku merasa perlu istirahat sejenak. Aku keluar menuju teras, menarik nafas dalam-dalam.
Di langit ada bulan purnama. Menatapnya membuatku ingat istriku, padahal aku tak ingin. Aku tak ingin mengingat pertama kali ketemu istriku di acara pernikahan dan terpesona dengan suara seraknya ketika dia menyanyikan lagu Bob Tutupoly diiringi organ tunggal. Kubilang pada diriku sendiri, berapa orang wanita yang menyanyikan lagu Bob Tutupoly di depan khalayak ramai? Hanya bisa dihitung jari. Baru kali ini kusaksikan wanita menyanyikan lagu Bob Tutupoly, apalagi Widuri, apalagi dengan begitu merdu dan syahdu. Wanita macam apa ini, yang begitu serius menyanyi Widuri, tanyaku dalam hati, apa dia tidak khawatir dikira lesbian oleh orang-orang? Jangan-jangan benar lesbian? Dan dia sedang menatap, di antara para hadirin, seorang Widuri (atau Bob Tutupoly?) yang elok bagai rembulan oh sayang seperti kata Bob Tutupoly kepada Widuri? Menelusuri arah tatapannya, kutetapkan lima orang tersangka rembulan. Penasaran, kuhampiri biduanitaku seusai menyanyi, saat dia mengambil minuman. Kukenalkan diri dan langsung kutanya, Anda senang perempuan atau laki-laki? Biduanitaku tertawa keras, mesti kubilang keras sekali, sampai aku terpesona yang kedua kali, sebab baru kali ini kudengar ada wanita tertawa begitu keras –semacam tawa tak melengking seperti umumnya wanita, pun bukan tawa membahana lelaki, tapi lebih serupa tawa suatu makhluk tak berjenis kelamin yang bukan dari dunia ini. Dia tampak surgawi, wujudnya bermandi sinar matahari, suaranya mengalun masih biduan padahal dia tidak sedang menyanyi Widuri, bagai musik cinta yang turun dari langit bersemilir ke telingaku mengenyahkan organ tunggal.
Aku jadi kangen pada istriku, agak murung dengan prospek hari-hari bujangan; keluyuran cari makan, memasak untuk satu orang, siapa yang akan mengantar ke dokter kalau mag-ku kambuh. Menatap bulan, kuputuskan akan datang menjemput istriku besok pagi-pagi sekali. Mungkin tidak pagi benar sebab aku perlu tidur sebentar, mungkin besok malam, atau lusa—nantilah, seketika kalimat pertamaku selesai. Aku harus memikirkan kalimatku terlebih dulu, hanya dengan cara itu aku bisa datang padanya. Akan kubuktikan aku akhirnya telah menulis novelku, supaya dia tak lagi menjerit-jerit seperti sore tadi. Kamu selalu menunda segala-gala, jerit istriku, menunda mencicil rumah, punya anak, mengirim pos paketku, berangkat ke kantor, menunda makan sampai mag lalu empat bulan menunda ke dokter, mau belok mobil saja kamu tunda sampai mobil motor sepi. Tunda ini tunda itu, besok ya say minggu depan ya say—kamu penunda sejati di segala bidang, lihat nasib bukumu yang tak jelas itu, kalimat pertama saja tak ada, raja siapa tu namanya, Siramatungga. Dan kamu Sirajatunda! Maharaja! Prabu! Begitulah, dalam salah satu rentetan jeritnya, dengan tak senonoh dia mengata-ngataiku.
Tanpa menunda-nunda, aku masuk lagi. Jika ingin istriku kembali, aku harus serius memikirkan kalimat pertama. Aku duduk dan mulai berpikir keras. Begitu keras aku berpikir, entah berapa lama, hingga kurasakan semacam lelah pikiran yang membekukan. Ketika pikiranku hampir mendekati titik beku, tiba-tiba melintaslah sebuah kalimat –buru-buru kuketik.
Panggil aku Samaratungga.
Aku girang, kalimat pertamaku telah tertera di layar. Dengarlah bunyinya: nggi-ngga, ai-au-aaaa, tiga kata senada seirama, musik sempurna. Daya desaknya begitu telak, menggoda, bahkan memerintah. Kalau seseorang sudah memerintahkan panggil namanya dengan desak semantap itu, niscaya banyak kejadian akan mengikuti. Kuucapkan kalimat itu berulang-ulang dengan berwibawa.Di ulangan ke sekian, kudengar suaraku tertunda.
Panggil aku Samaratungga.
Tunggu, berhenti! kuhardik diriku. Aku mencurigai sesuatu, tetapi belum jelas benar. Lima menit kemudian tiba-tiba jelaslah: oh tidak, itu Ishmael! Moby Dick! Herman Melville telah duluan memikirkan dan menuliskan kalimat pertamaku! Orang itu mencoleng buah pikiranku yang cemerlang, buah kalamku yang pertama di malam ini setelah berjam-jam. Tidakkah Herman Melville tahu delapan tahun lamanya kupersiapkan diriku untuk kalimat itu, tidakkah dia tahu kalau nasib rumah tanggaku ada di situ, tega betul Herman Melville datang dengan mesin waktu dan merampas kesempurnaan kalimatku.
Dengan getir kuhapus kalimat yang cuma sesaat jadi milikku. Aku bersandar di kursi, menatap lesu layar yang kembali putih kosong. Aku merasa tak berdaya. Dan tak orisinal. Dan frustrasi. Semua hal yang bisa diperkatakan oleh manusia di dunia ini, telah pernah dikatakan seseorang dalam sesuatu buku. Semua kalimat pertama yang mungkin, telah habis dipikirkan dan dituliskan orang-orang. Sisanya adalah daur ulang. Batinku menjerit pilu, oh buah pena, mahakarya, oh susastra!
Di antara jerit batinku, sayup-sayup kudengar suara mengaji dari mesjid. Aku tersentak, sebentar lagi subuh. Jangan menyerah! kuperingatkan diriku sendiri, ingat, istrimu taruhannya. Aku kembali mulai berpikir keras.
Kuterus berpikir, hingga kurasakan taraf kekerasanku dalam berpikir hampir baja. Aku memikirkan, jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku menderita dibuatnya. Tapi jika kupikirkan kalimat pertamaku, aku juga menderita, sebab sambil memikirkan kalimat pertamaku, di saat yang sama, aku juga memikirkan bahwa jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku menderita berganda dibuatnya –lalu jika kuterus pikirkan, aku akan menderita berganda-ganda. Seakan ke arah mana pun aku berpikir, apa pun buah pikiranku, semata terantuk buah simalakama. Tak cuma sebuah, namun berlipat ganda, dalam panen raya buah- buah Simalakama Sirajatunda Samaratungga—kalimat pertama mahakaryaku menyelip entah di mana. Memikirkan semua ini membuatku mengantuk dan ingin tidur saja. Tidur yang lama.
Tulang Belulang
Kini, kemana pun pergi, tulang belulang anaknya itu selalu ia bawa. Semuanya bermula dari kematian sang istri. Nyawa perempuan itu habis di tangan sendiri. Ia terjun bebas dari lantai dua belas. Pikiran sehatnya tandas setelah mendapati perutnya semakin membesar, berisi benih majikannya. Pada akhirnya, perempuan itu pulang dari negeri yang jauh dengan kondisi yang tak manusiawi, dalam sebuah peti mati murahan.
Lelaki itu tak bisa mengelak dari kenyataan yang menyakitkan ini. Serta-merta ia terhempas ke dalam duka yang nyaris tanpa ujung. Bukan semata tersebab kehilangan orang yang begitu ia cintai tapi juga sumber penghidupan. Selama ini, istrinya itu rutin mengirimkan uang asing dari negeri asing yang jika dirupiahkan, jumlahnya bisa membiayai lebih dari cukup hidupnya bersama anak semata wayang mereka.
Kenyataan yang tak dinyana itu memaksanya kembali menggeluti pekerjaan semula, berjualan obat tradisional racikan sendiri, di pasar. Tak seberapa uang yang bisa diperoleh dari situ. Bahkan, sering kali ia tak beroleh rupiah sama sekali. Masa jayanya tak lagi berbekas. Telah banyak penjual obat yang bermunculan sepeninggalannya. Orang-orang itu lebih lihai menggoda calon pembeli, menggelitik-gelitik rasa penasaran dengan mulut berbumbu mereka, menghipnotis secara tidak langsung sampai membuat mereka menjadi pelanggan setia.
Ia duduk terpaku dalam lamunan di belakang hamparan obat-obatan jualannya. Ia hanya mengandalkan tulisan sendiri di sebuah papan yang mengumumkan bahwa dialah penjual obat pertama di pasar itu sehingga semestinya kemanjuran obat yang ia jual tak akan ada yang bisa menandingi.
Setelah hari-hari tanpa hasil, hari ini hatinya senang bukan kepalang. Seorang kawan lama mampir dan lebih karena rasa kasihan, membeli sebotol obat gosok buatannya dengan bayaran dua kali lipat dari harga yang ditawarkan. Ia pun segera pulang setelah sebelumnya membeli dua bungkus nasi padang. Ia memutuskan untuk makan duluan. Sebungkus lagi ia sisakan buat anaknya.
Ia sangat menyayangi anaknya yang sudah beranjak bujang itu. Selama ini, dialah yang berperan besar menghalau kesepian dan kesendirian si penjual obat. Anak itu pula menjadi alasannya untuk kuat bertahan menjalani sisa hidup, meski dalam kesulitan, sepeninggalan istri tercinta.
Sampai malam tiba, anaknya tak segera menampakkan diri. Memang, waktu berangkat sekolah tadi pagi ia sempat berpamitan sambil mengatakan: sepulang dari sekolah, ia langsung menonton pertandingan bola di ibu kota. Klub kesayangannya akan main.
Sampai pagi keesokannya, anak itu belum juga datang. Justru mobil ambulans tiba dengan membawa sesosok jasad dalam kondisi yang mengenaskan. Itulah anaknya. Ia tewas setelah terjatuh dari atap kereta api yang tengah melaju. Dibantu oleh orang-orang kampung, dalam suasana hatinya yang tak karuan, anak itu dimakamkan siang itu juga.
Mulai malamnya, ia merasakan kesepian yang menakutkan, hidup sebatang kara yang begitu menyakitkan. Ia dikungkung kesepian yang mencekam, seperti yang mungkin dirasakan orang yang baru saja mati meninggalkan dunia dan susah payah beradaptasi dengan kehidupan di alam kubur yang benar-benar asing.
Tak tahan dalam teror penderitaan itu, dua minggu kemudian, ia nekad menggali kuburan anaknya. Pikirnya, daripada mereka hidup masing-masing di tempat yang berbeda, lebih baik mereka kembali hidup berdua lagi meski anaknya hanya tulang belulang kini.
”Aku kesepian. Kau pasti kesepian juga. Baiknya kita tetap hidup bersama saja. Kalau ibumu, tak akan sendirian dia dalam kubur. Ada nenek dan kakekmu di sana.” Ia berbicara pada tulang belulang anaknya itu. Tulang belulang itu ia bebaskan dari lumpur dan kotoran, ia mandikan. Ia sirami dengan minyak wangi, ia sayangi kemudian. Ia pun mengajaknya bertukar cerita sampai larut malam, sampai ia tertidur tak lagi memeluk guling, tapi tulang belulang itu. Malam itu juga, ia bermimpi indah.
Esok paginya, seperti biasa, dari rumah ia beranjak menuju pasar. Ada pemandangan yang tak biasa bagi orang-orang pasar pagi itu. Mereka melihatnya membawa tulang belulang. Mulanya orang-orang terteror dan enggan mendekat. Namun, lama kelamaan, rasa penasaran memicu terjadinya kerumunan di sekitar lelaki yang mereka kenal sebagai penjual obat itu.
”Apakah itu dijual?”
”Tidak.”
”Tulang belulang siapa itu?”
”Anakku.”
”Ha?”
Orang-orang langsung saja bubar jalan usai mendengar pengakuan yang mengejutkan itu. Dalam bisik-bisik, mereka mencapnya gila. Meski kerumunan telah bubar, ada seorang lelaki muda yang justru bertahan di hadapan si penjual obat.
”Mengapa masih di sini. Mengapa tak pergi juga seperti mereka?”
Lelaki itu tersenyum dan mengajukan permintaan yang aneh: ”Aku meminta air bekas bilasan tulang belulang itu.”
Penjual obat tersinggung dan tak mengindahkan permintaan itu. Karena tak digubris, lelaki muda itu berinisiatif mendapatkan sendiri apa yang dipintanya. Penjual obat tak sempat menghalangi gerak cepat lelaki muda itu yang mengambil salah satu bagian dari tulang belulang untuk kemudian ia siram. Air bekas menyiram tulang yang tertampung dalam baskom itulah yang kemudian diambilnya. Ia bergegas pergi dengan wajah sumringah setelah meninggalkan begitu saja selembar uang lima puluh ribu di hadapan si penjual obat.
Meski masih dilanda kebingungan bercampur marah yang tertahan, penjual obat menyambar uang itu dan memasukkannya ke sela kopiah miringnya. Ia mencoba untuk tenang dan menimbang-nimbang dengan akal, apa yang sesungguhnya terjadi barusan. Ia pun sampai pada kesimpulan bahwa, lelaki tadi pasti menganggap tulang belulang anaknya itu sebagai pembawa berkah. Dengan demikian, dalam sukacita ia mengambil air bilasan dari belulang itu demi hajat tertentu. Ia tak mau memperpanjang pikiran ke arah kejadian yang barusan. Ia cukup puas dengan pemberian lelaki muda itu. Dengan uang selembar tersebut, ia tak lagi perlu menjajakan dagangannya hari ini. Ia memutuskan pulang. Dari perhitungan, uang itu cukup untuk keperluan hidup sampai tiga hari. Ia akan berdiam diri saja di rumah selama tiga hari ke depan.
***
Ia belum bangun pagi itu. Pintu rumahnya digedor-gedor seseorang. Lebih karena ingin mengakhiri teror gedoran daripada mengetahui siapa yang melakukannya, ia beranjak dari tidur dan membuka segera pintu rumah dengan harapan urusan segera kelar dan ia bisa segera melanjutkan tidur. Ia tak begitu memperhatikan siapa yang berada di ambang pintu. Ia hanya mendengarkan beberapa baris omongannya. Permintaan lelaki itu, yang ingin mendapatkan lagi air siraman dari tulang belulang anaknya, membuatnya tahu itu pasti lelaki terakhir yang memberinya uang lima puluh ribu tiga hari yang lalu.
”Oh.. kamu..”
”Ya, Pak. Berilah lagi saya air tulang belulang itu. Soto saya laris manis tiga hari ini berkat kuah yang saya campurkan dengan air tulang belulang dari Bapak. Para pembeli bilang, kuah soto saya dahsyat nikmatnya.”
”Dari mana kamu tahu saya tinggal di sini?”
”Sama seperti waktu saya menemukan Bapak beberapa hari yang lalu di pasar, saya menemukan tempat tinggal Bapak ini berdasarkan bisikan spiritual.”
”Bisikan spiritual?”
Meski belum begitu paham dengan penjelasan si penjual soto, ia tak bisa mengelak untuk memenuhi permintaannya. Lebih-lebih lagi lelaki itu telah menyodorkan uang yang berlipat jumlahnya dibanding yang lalu. Kali ini, tiga lembar seratus ribuan.
Tanpa berpanjang lebar, ia segera menyiram tulang belulang anaknya dan mengisi jeriken lima liter bawaan si penjual soto. Sepeninggalan penjual soto, dia meledak dalam girang bukan main. Dari perhitungan, uang itu akan cukup untuk hidup selama seminggu. Ia segera menghampiri tulang belulang anaknya, memeluknya sebagai ungkapan rasa terima kasih tak terhingga.
***
Kabar mengenai kehebatan air bilasan tulang belulang milik si penjual obat segera merebak ke mana-mana, terbang bersama angin ke segenap penjuru. Setelah si penjual soto, berdatangan beragam orang, dari beraneka profesi, beragam desa dan kota dengan tujuan yang sama: ingin sukses dalam bidangnya masing-masing dengan air bilasan tulang belulang.
Sesungguhnya, ia sendiri sangsi dengan khasiat air tulang belulang itu sebagaimana yang mulai banyak diyakini orang-orang. Ia pun tak tahu sampai sejauh mana keyakinan orang-orang itu akan bertahan. Meski demikian, ia akan tetap melayani. Kapan lagi ia bisa memperoleh uang banyak dengan cara yang begitu mudah, bukan?
Kini, ia menetapkan tarif. Untuk satu jeriken lima liter air rendaman tulang belulang, ia memungut lima ratus ribu rupiah. Meski terhitung mahal, tak ada yang keberatan. Semakin hari semakin banyak orang yang berbondong-bondong dan rela antre kepanasan selama berjam-jam demi mendapatkan air rendaman tulang belulang.
Sampai saatnya kemudian, si tukang obat tak sanggup melayani sendiri orang-orang yang berdatangan tanpa henti. Ia lantas mengupah dua orang tetangganya sebagai asisten dan mulai menetapkan jam buka dan jam tutup pelayanan.
Orang yang berdatangan makin tak henti-henti. Meskipun suatu hari kenyataan pahit datang ke hadapan mereka di mana si penjual obat tak lagi bisa memberikan air rendaman tulang belulang sebab tulang belulang anaknya hilang. Ia tak tahu siapa yang telah mencurinya. Ia kini hanya mampu bersedih tanpa henti. Ia menyesal tak bisa menjaga dengan baik tulang belulang itu sampai-sampai ia mengutuk dirinya sendiri kini. Untuk sementara waktu, ia memutuskan menutup pintu rumahnya dan menghentikan pelayanan. Ia menawarkan hadiah berpuluh juta bagi siap saja yang bisa menemukan tulang belulang anaknya.
Sampai berminggu-minggu, tulang belulang si anak tak juga ditemukan. Sementara itu, antrean orang-orang tak henti memanjang. Dalam penantian tanpa kepastian, mereka tetap sabar. Meski rumah si penjual obat masih dalam kondisi tertutup. Beberapa hari kemudian, muncul bau busuk dari dalam rumah itu. Dari salah seseorang yang berinisiatif masuk ke dalam rumah, diketahui kemudian bahwa si tukang obat telah meninggal. Kenyataannya, ia mati dalam kesedihan tiada tara dan rasa kesepian yang menggunung setelah kehilangan tulang belulang anaknya.
Mendengar kabar kematian itu, tiba-tiba saja orang-orang berebutan masuk ke dalam rumah si penjual obat. Mereka menjadi liar, mereka sikut-sikutan, saling berebut mengambil bagian-bagian dari tubuh si penjual obat yang telah menjadi jasad. Mereka yakin, kesaktian air bilasan tulang belulang milik si tukang obat akan lebih hebat daripada air bilasan tulang belulang anaknya.
Ibu Pulang
Kringg!! Itu dering telepon kedelapan. Aku tahu pasti siapa peneleponnya. Nenek.
Dia masih saja berusaha membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah Nenek adalah rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya. Juga oleh ayahku. Tapi tidak oleh ibuku.
Ibu. Itulah alasan Nenek untuk menyuruhku pulang. ”Sudah lima tahun kamu ndak pulang Wid. Tahun ini kamu harus ada. Ibumu pulang,” kata Nenek kemarin lewat telepon. Aku tidak mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Nenek untuk meneleponku lagi keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti.
”Nenek akan telepon kamu besok sore ya. Jangan lupa,” tegas Nenek.
Nenek memang tipe orang yang suka mendesak. Kupikir-pikir sekarang, sifatnya itu memang aku perlukan. Jika tidak, mungkin aku akan mati. Atau akan jadi pengangguran di rumah. Atau pasrah saja jika ada orang yang melamarku. Atau jadi gila. Namun semua pilihan itu tidak terjadi padaku. Berkat Nenek. Dengan keras kepala, dia akan menyuruhku ini itu. Membangunkanku agar tak terlambat ke sekolah. Menyiapkan makanan untukku, hingga memilihkan kursus apa saja yang ketika tiba waktunya, ternyata memang berguna. Toh ketika aku sudah bisa hidup dengan kemampuanku sendiri, bahkan bisa dibilang berlebih, Nenek tak pernah sedikit pun meminta apa pun dariku. Dia hanya memintaku untuk pulang setiap Natal.
Dibanding Nenek, Ayah tak memiliki pengaruh apa pun buatku. Dia sama mati surinya denganku. Membeku. Diam. Hanya melihatku dengan matanya, tapi tidak dengan jiwanya. Dia sering hanya menghabiskan waktu di kamarnya, atau di kebun, atau di perpustakaan, atau di teras rumah. Aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakannya. Di kemudian hari, kutemukan banyak sekali sketsa berisi sosok Ibu dan diriku di kamarnya.
Kata Nenek, Ayah menjadi pendiam seperti itu sejak kepergian Ibu. Saat aku berusia tiga tahun, Ibu pergi dari rumah tanpa pamit. Dia baru bilang keberadaannya setelah dua tahun kemudian. Sepucuk surat datang pada suatu sore. Dikirim dari Brooklyn, New York. Di surat itu, Ibu mengabarkan bahwa dia baik-baik saja dan lebih memilih tinggal di sana. Dia berjanji suatu saat akan pulang.
Janji itu ditepatinya saat ini. Ketika aku sudah berusia seperempat abad. Usia di mana aku sudah tak membutuhkannya lagi. Saat di mana aku sudah memiliki pendapat sendiri tentang konsep Ibu. Tentang perlu tidaknya memiliki seorang ibu dalam hidupku. Tentang tidak semua perempuan bisa dan harus menjadi Ibu.
Buatku, Nenek lebih dari seorang Ibu. Bahkan juga menjadi Ayah bagiku. Jadi aku merasa tak perlu untuk menemui Ibu. Tidak untuk Natal kali ini, maupun di hari yang lain. Namun Nenek begitu mendesakku untuk pulang. Lima Natal sebelumnya, aku tidak lagi pulang dan Nenek tidak berkata apa pun. Dia sudah sangat mengerti aku telah memiliki kehidupan sendiri. Justru karena aku lama tak pulang inilah, Nenek menggunakannya sebagai senjata untuk memaksaku.
”Nenek ndak masalah kamu sudah lama ndak pulang. Bahkan Nenek juga ndak pernah minta apa pun dari kamu kan? Sekarang Nenek cuma minta kamu pulang, tapi kamu masih mikir-mikir. Sudahlah. Jika kamu ndak mau pulang karena ibumu, setidaknya kamu pulang buat Nenek,” pinta Nenek dengan nada kesal. Ketimbang memelas atau mengiba, Nenek memang lebih nyaman untuk bersikap marah atau ngambek. Setahuku dia memang bukan tipe nenek-nenek tua yang lemah. Tak heran jika dia masih bisa mengurus rumah sendiri di usia hampir 80 tahun hingga dua tahun lalu, kusewa seorang pembantu untuk membantunya. Usul yang ditolaknya mentah-mentah, namun Nenek berhasil kuancam untuk tidak mengusirnya.
”Dia sudah tidak punya rumah lagi, Nek. Kalau Nenek mengusirnya, dia bisa bunuh diri,” kataku.
Sesuai dengan iman Kristianinya yang begitu kuat, Nenek sangat membenci bunuh diri. Karena itulah dia mati-matian menjagaku dan Ayah untuk tidak mengakhiri hidup dengan tangan sendiri.
Pikiran tentang mengakhiri hidup sebenarnya tak pernah terlintas di benakku. Tidak dengan Ayah. Aku tahu dia sudah tak ada keinginan hidup tanpa Ibu di sisinya. Namun setelah bertahun-tahun kemudian, aku jadi berpikir mungkin karena kesetiaannya itulah Ibu pergi meninggalkannya.
***
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang tepat pada malam Natal. Nenek terlihat kesal karena aku melewatkan misa malam Natal di gereja. Aku memang sengaja karena aku tidak berminat bertemu dengan orang-orang yang mungkin masih mengenalku jika aku misa bersama Nenek di gereja kota kecil ini. ”Padahal tadi aku bertemu dengan teman-teman misdinarmu dulu, lho. Mereka sudah berkeluarga dan punya anak,” kata Nenek sambil menata piring di meja untuk makan malam. Aku hanya mengangguk malas.
Sejak aku tiba di rumah Nenek, aku memilih diam. Apalagi ketika bertemu Ibu. Begitu aku memasuki rumah, Nenek langsung menarikku ke ruang makan dan memperkenalkan seorang perempuan yang sedang duduk di kursi makan. Begitu melihatku, dia segera berdiri.
”Wid, apa kabar?” ujarnya sambil mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. Kedua telapak tangan kami berjabatan. Seperti sepasang asing yang baru akan memperkenalkan diri.
”Baik. Bagaimana perjalanan Ibu?” tanyaku sambil menarik kursi di dekatnya.
Dan mengalirlah pembicaraan di antara kami bertiga: aku, Ibu, dan Nenek.
Ibu seorang perempuan yang tenang. Cara bicaranya teratur. Senyumnya tipis dan seperlunya. Rambutnya panjang sebahu dengan sebagian uban di beberapa tempat. Tubuhnya kurus. Namun terlihat kuat dan kokoh. Meski kerut di beberapa bagian di wajahnya jelas terlihat, Ibu terlihat masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya di masa lalu. Bentuk wajahnya oval dengan alis yang tebal dan hidung yang mancung. Sorot matanya tajam namun teduh.
Pembicaraan kami lebih banyak tentang kehidupan Ibu di sana yang bekerja di sebuah galeri seni. Kemudian tentang penerbangan yang melelahkan dan rasa kangennya akan masakan Indonesia. Di Brooklyn, Ibu jarang masak. Tapi dia tahu tempat-tempat di New York yang menjual bumbu-bumbu Indonesia. Perbincangan kami terhenti karena Nenek sudah mengantuk. Kami pun berpisah dan menuju kamar masing-masing. Malam itu, Ibu tidur di kamar Ayah.
Tengah malam aku terbangun. Entah mimpi apa yang membangunkanku, aku sudah lupa. Yang jelas aku terbangun dengan perasaan hampa. Kuputuskan keluar kamar untuk mengambil air minum. Tenggorokanku terasa kering. Di dapur, aku melihat setitik cahaya di teras taman belakang. Aku bergegas ke sana dan melihat Ibu tengah duduk sambil mengisap rokok.
”Selamat Natal, Wid,” ujar Ibu sambil menawarkan rokok kepadaku.
Aku menggeleng. ”Selamat Natal juga, Bu.”
”Tak bisa tidur atau terbangun?” tanyanya.
”Terbangun.”
Agak lama keheningan menguasai kami berdua. Akhirnya Ibu yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.
”Bagaimana suamiku meninggal saat itu?”
”Ayah meninggal saat tidur. Aku dan Nenek tak mengetahuinya sampai pagi, ketika Nenek hendak membangunkan dia.”
”Begitu ya. Tahukah kamu dari dulu dia menginginkan kematian seperti itu. Kematian yang mengendap-endap. Bak pencuri. Tak meninggalkan tanda apa pun. Tak merepotkan siapa pun,” kata Ibu sambil memandang kegelapan.
”Kenapa Ibu tak pulang waktu Ayah meninggal?”
”Aku tak cukup kuat melihatnya tak bisa lagi bergerak, tersenyum, atau sekadar menggodaku dengan cubitan di pipiku. Tahukah kamu, dia dulu sangat suka duduk di sini. Sambil melukis atau membersihkan rumput. Sementara aku melihatnya dari balik jendela dapur. Begitu kamu lahir, dia tak lagi melukis. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengajakmu bermain di sini. Kamu didudukkan di rumput, dan kemudian dia akan merangkai berbagai macam bunga untuk dijadikan mahkota di kepalamu,” kata Ibu.
”Sepertinya indah dan menyenangkan. Lantas kenapa Ibu pergi?” akhirnya aku berhasil mempertanyakan hal yang dari dulu membuatku geram.
”Aku belum siap memiliki kamu. Sementara dia menginginkanmu begitu kami menikah. Ketika akhirnya aku hamil, dia semakin membuatku sesak dengan perhatian dan cintanya yang begitu sempurna. Membuatku merasa bersalah dari waktu ke waktu karena aku tak pernah bisa mencintainya sebesar itu. Saat kamu lahir, aku tahu dia akan bisa mencintaimu sebesar dia mencintaiku. Kujadikan dirimu sebagai penggantiku.”
”Ayah tak pernah bisa menjadikan siapa pun sebagai pengganti Ibu. Termasuk diriku.”
”Aku tahu. Perpisahan yang sia-sia,” ujar Ibu sambil beranjak dari duduknya. ”Aku sudah mengantuk, Wid. Aku tidur dulu ya,” pamit Ibu.
Aku mengangguk dan memutuskan tetap duduk sambil menunggu fajar. Dalam kegelapan, aku membayangkan kehidupanku jika Ibu tak pernah pergi. Mungkin Ayah tetap hidup dan setiap tahun aku akan pulang untuk merayakan Natal. Kemudian kami semua akan berkumpul di dekat pohon natal sambil saling bertukar kado. Atau seperti di film-film Hollywood, aku, Ibu, dan Nenek akan memasak hidangan natal bersama. Mungkin juga akan muncul pertengkaran layaknya sebuah keluarga, ketika aku memperkenalkan calon suami saat Natal tiba dan orangtuaku tidak menyetujuinya. Bahkan bukan tidak mungkin aku sudah memberikan cucu untuk Ayah dan Ibu.
Dua hari setelah Natal, Ibu pulang. Aku tetap tinggal di rumah Nenek sampai Tahun Baru. Setelah kepergiannya, aku akhirnya menyadari bahwa Ibu pergi karena tidak pernah memaafkan dirinya sendiri. Kesimpulan ini kudapatkan dari cerita Nenek dan hadiah Natal dari Ibu. Sewaktu kubuka, hadiah itu berisi album foto yang memasang foto-fotoku sewaktu kecil. Aku belum pernah melihat foto-foto itu.
Sembari melihat isi album foto itu, Nenek akhirnya bercerita bahwa Ayah begitu menginginkan anak dalam pernikahannya dengan Ibu. Aku lahir lima tahun kemudian. Namun kehadiranku tak bisa menghalangi kepergian Ibu. Bagi Ayah, aku adalah hadiah dalam hidupnya. Sementara bagi Ibu, kehadiranku adalah memorabilia ketidaksetiaannya. Kini aku menyadari mengapa wajahku tidak sama dengan Ayah maupun Ibu. Di halaman terakhir album foto itu, kulihat diriku sewaktu kecil berada di sebuah taman. Aku dipangku Ibu yang sedang duduk bersama seorang lelaki dengan sorot mata dan senyum yang sama denganku.
Ikan Terbang Kufah
Kau tak tahu di mana tubuh Kufah, Kiai Siti, Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu menghilang bukan?
Kufah tidak percaya pada akhirnya orang-orang kota benar-benar akan menghancurkan makam Syeh Muso yang menjulur di ujung tanjung yang dikepung oleh hutan bakau dan cericit ribuan bangau. Mereka akan membangun resor di kampung penuh ikan terbang itu.
Kufah keberatan bukan karena nisan Syeh Muso sering menguarkan cahaya hijau yang menyilaukan mata, tetapi jika sewaktu-waktu tanjung itu turut dilenyapkan, ia tidak akan bisa berlama-lama memandang bulan sambil mengecipakkan kaki di kebeningan air laut yang jika pasang tiba, kerap mengempaskan segala benda tak terduga.
Kadang-kadang, kau tahu, saat bermain bersama perempuan-perempuan kencur lain, Kufah melihat perahu-perahu kecil merapat dan memuntahkan beberapa laki-laki—yang mereka sangka malaikat bersayap merah—berkerumun di makam Syeh Muso. Para lelaki itu mendesiskan suara-suara serupa cericit kelelawar, serupa doa-doa yang senantiasa dipanjatkan oleh Kiai Siti—ayah Kufah—saat amuk laut menjilat-jilat beranda rumah, pohon-pohon bakau tenggelam, dan kegelapan menyuruk-nyuruk ke masjid kuno yang fondasinya telah terkubur oleh air asin.
Juga bersama Zaenab—perempuan penunggu makam, tiga puluh tahunan, yang seluruh tubuhnya bersisik dan hendak mengelupas itu—pada suatu malam dia merasa bertemu dengan sepasang malaikat berlampion putih agak redup yang tersesat di makam.
”Mengapa mereka ke sini?” tanya Kufah.
”Karena mereka menziarahi makam Syeh Muso, Kufah. Kau tahu, menziarahi makam Sang Junjungan sama dengan menziarahi raudah di Negeri Penuh Kemuliaan.”
Kufah tak paham desisan Zaenab. Meskipun demikian, ia tetap memandang segala peristiwa yang terjadi di makam tanpa berkedip sesaat pun. Ia takjub ketika di kedua bahu laki-laki dan perempuan dengan wajah bercahaya yang selalu bergandeng tangan itu, tampak tato sayap dengan warna pelangi yang menyilaukan. Yang lebih mengejutkan mereka menundukkan kepala kepada Zaenab, perempuan yang justru diusir dari kampung hanya karena seluruh tubuhnya bersisik, suka bicara sendiri, dan lidahnya bercabang.
Beberapa kali Kufah juga melihat sebuah perahu merapat dan pria tinggi bersorban berjalan-jalan tergesa-gesa ke masjid. Pada saat-saat seperti itu, Kiai Siti bersama lima lelaki dewasa penghuni daratan yang tenggelam akibat abrasi tersebut akan mendengarkan apa pun yang diucapkan oleh makhluk bermata merah menyala yang senantiasa menuding-nuding dan mengacungkan jari ke langit itu.
Kufah suka sekali mengintip dan mendengarkan secara serampangan khotbah tamu berjenggot yang lebih dikenal sebagai Panglima Langit Abu Jenar tersebut. Hanya, karena dalam bayangan Kufah, Abu Jenar tampak sebagai raksasa yang bengis dan rakus serta bersiap melahap apa pun, ia selalu meninggalkan rumah ketika Kiai Siti dan hantu bermulut penuh lendir itu bercakap tentang perjuangan akbar dan hutan bakau yang bakal digusur. Ia juga tidak suka pada Abu Jenar karena sang Panglima Langit selalu memandang dengan mata nakal setiap bersitatap dengan dirinya. Ia makin benci ketika mendengar gunjingan Abu Jenar hendak menjadikan dia sebagai istri keempat.
Akan tetapi, entah karena apa malam ini Kufah ingin mendengarkan apa pun yang diucapkan oleh Abu Jenar. Tak mudah mencuri dengar dari jarak yang agak jauh. Nyaris tidak ada kata-kata penting yang menyusup ke telinga. Kufah hanya seperti mendengar dengung lebah, kemudian berganti dengan cericit bangau, debur ombak, dan sesekali petir ketika Abu Jenar mengacung-acungkan tangan. Kufah pun kemudian berjingkat-jingkat lebih mendekat.
Kini suara-suara yang semula terasa aneh di telinga mulai bisa didengar. Hanya didengar… belum bisa dimaknai oleh Kufah yang masih sebelas tahunan.
”Tidak ada cara lain… kita ledakkan sendiri saja makam Syeh Muso ketimbang dihancurkan oleh mereka…,” kata Abu Jenar berapi-api.
Wajah Kiai Siti menegang. Meskipun demikian, Kufah tidak tahu mengapa ayahnya tidak berani menolak ajakan untuk menggusur makan kakek buyutnya itu.
”Jika perlu masjid dan kampung ini kita bakar. Jika mereka menghalang-halangi, kita harus bersiap mati!”
Seperti pada hari-hari sebelumnya, tidak ada yang berani melawan Abu Jenar. Karena itu, dalam benak Kufah yang belum bisa menggapai nalar, itu berarti perintah Abu Jenar akan dituruti. Makam Syeh Muso akan diledakkan. Api akan melahap kampung dan penduduk hangus percuma.
”Dan aku kira, malam ini adalah saat paling tepat untuk meledakkan makam itu. Bersiaplah kalian melaksanakan perjuangan besar ini!” cerocos Abu Jenar lagi, menjijikkan.
Sambil membayangkan api yang bakal melahap makam, Kufah teringat pada ikan-ikan yang berkecipakan di sekitar makam. Dia tak ingin melihat ikan-ikannya kepanasan.
Karena itulah dengan berjingkat-jingkat ia mencari juru selamat ikan. Dia mencari Zaenab. Zaenab pasti tak akan memperbolehkan makam Syeh Muso dibakar, diledakkan, atau dihancurkan oleh siapa pun. Dan kalau makam terselematkan, terselamatkan pula ikan-ikan kesayangan.
***
Laut pasang saat itu. Beranda tenggelam. Karena itu, tidak ada cara lain, Kufah harus menggunakan sampan kecil untuk sampai ke makam Syeh Muso yang sepanjang waktu tidak pernah terkubur amuk laut itu. Dan benar, Zaenab berada di keheningan makam. Perempuan itu sedang tafakur di makam sambil bertasbih. Kufah seperti melihat malaikat yang diasingkan dari surga tengah menangis sesenggukan. Ia melihat di kedua bahu perempuan yang tersingkir dari kampung itu, sayap hijau berkilauan menguncup dan mengembang seirama zikir seirama napas Kiai Siti seusai sembahyang.
Hmm, inilah sang pelindung makam, inilah yang akan melindungi ikanku, inilah yang akan melindungi tempat bermainku bersama teman-teman, pikir Kufah.
Tak lama kemudian Kufah menepi. Dengan tergopoh-gopoh ia menuju ke cungkup dan segera tafakur di hadapan makam Syeh Muso. Ia ingin memohon pada Allah lebih dulu agar makam keramat ini tidak diledakkan oleh Panglima Langit dan penduduk kampung. Ia ingin mengatakan kepada Zaenab agar segera meninggalkan makam dan mengungsi ke kampung sebelah.
”Ada apa kau ke sini malam-malam, Kufah?” Zaenab mendesis dan menggerak-gerakkan lidahnya yang bercabang.
”Panglima Langit akan meledakkan makam…. Aku mau menyelamatkan ikanku. Aku ingin ia tetap beterbangan di seputar makam. Sebenarnya aku ingin ikan itu mengaji pada Syeh Muso, tetapi Syeh Muso akan dibakar,” Kufah mendengus pelan, ”Tinggalkan tempat ini…”
Di luar dugaan Kufah, wajah Zaenab tak berubah sama sekali. Ia tetap tafakur dan merasa tak bakal terjadi apa-apa.
”Siapa pun tak akan berani meledakkan makam turunan raja, Kufah. Kau tahu, sekalipun orang luar menganggap Syeh Muso sebagai komunis yang menyamar jadi kiai terkemuka, ia tetap saja putra Raja Pemangku Bumi Ketiga yang memiliki istri dari keturunan Raden Fatah,” Zaenab mulai berkisah tanpa berpikir apakah Kufah tahu segala yang ia ceritakan.
Kufah memang tak tahu siapa Raja Pemangku Bumi Ketiga dan Raden Fatah. Ia hanya tahu jika makam diledakkan atau dibakar, kisah-kisah menakjubkan tentang Syeh Muso yang membangun kampung dalam semalam juga akan hilang. Dan yang lebih penting, ia tak ingin ikan piaraannya kepanasan dan Zaenab hangus terbakar.
”Kita hanya butuh hujan. Kita harus memohon Allah agar memberikan sihir hujan!” Zaenab mendesis lagi.
”Hujan? Untuk apa?” tanya Kufah tak mengerti maksud Zaenab.
”Bukankah hanya hujan yang bisa menghapus api?” Zaenab memberi jawaban, ”Tetapi tak mungkin akan muncul hujan pada saat bulan purnama, Kufah.”
”Aku bisa memanggil hujan!” teriak Kufah sambil membentangkan tangan seperti orang tersalib.
Lalu Kufah berjingkat-jingkat ke pusat tanjung. Ia bersujud menirukan Kiai Siti saat memohon hujan. Tetapi tidak setiap keajaiban datang sesuai keinginan Kufah. Hujan tak segera turun. Hujan tak segera datang.
***
Tanpa sepengetahuan Kufah, Kiai Siti bertanya kepada Abu Jenar mengapa Panglima Langit ngotot meledakkan sendiri makam Syeh Muso. Rupa-rupanya Kiai Siti mulai mengendus bau busuk pengkhianatan. Ia khawatir jangan-jangan Abu Jenar justru merupakan suruhan orang kota yang dikendalikan untuk segera menghancurkan kampung.
”Kalau mereka yang meledakkan, kita menjadi manusia-manusia yang kalah,” kata Abu Jenar, ”Sudahlah… aku sudah meletakkan bom di makam. Kita tinggal meledakkan dari sini, maka perjuangan akbar kita selesai.”
”Jangan! Jangan Tuan ledakkan dulu makam keramat itu. Izinkan aku menyelamatkan buku-buku penting di sana. Ketahuilah semua riwayat kampung dan silsilah keturunan Syeh Muso kami simpan di cungkup itu. Jika makam itu Tuan ledakkan sekarang, kami tak akan punya kenangan apa pun,” Kiai Siti mencoba mengulur waktu.
Apakah ia benar-benar ingin menyelamatkan buku? Entahlah yang jelas kini pandangan matanya menjelah ke berbagai sudut. Ia mencari istrinya. Ada. Ia mencari Kufah. Tak ada.
”Kufah pasti sedang berada di makam itu,” pikir Kiai Siti.
Karena itu tanpa memedulikan siapa pun, Kiai Siti meninggalkan masjid. Ia terjun ke laut. Ia berenang menuju ke tanjung, ke makam Syeh Muso. Ia tak ingin melihat tubuh Kufah terbakar atau tercerai-berai akibat ledakan bom Abu Jenar.
Tetapi terlambat. Di luar dugaan Abu Jenar dan penduduk lain, ternyata Kufah menemukan bom yang disembunyikan di sebalik nisan di bagian yang tidak diketahui oleh Zaenab.
”Mainan siapa ini?” tanya Kufah sambil menimang-nimang bom.
”Mainan? Itu bukan mainan, Kufah. Itu…,” Zaenab curiga pada benda yang juga tidak pernah ia lihat sepanjang hidup itu.
”Itu… apa?”
”Buanglah! Lemparkan ke laut!”
Tak ada jawaban. Lalu terdengar ledakan. Lalu terdengar sorak-sorai. Lalu tubuh Kufah menyala, memburaikan api yang menyerupai kibasan sayap-sayap malaikat menjilat-jilat apa pun yang diam dan berkelebat di makam.
Kini kau tak tahu di mana tubuh Kufah, Kiai Siti, dan Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu menghilang bukan?
Bayangan Darah
Setelah semua perkelahian ini, lalu apa? Setelah perseteruan ini, lantas apa? Masih adakah yang tersisa ketika kita habiskan seluruh kebencian dan sakit hati ini? Ataukah kita memang dilahirkan untuk saling bunuh? Mungkinkah kebencian adalah kehidupan kita? Dan tanpa itu, kita bahkan tak berbekas sama sekali?
Dua sosok itu termangu oleh pikiran masing-masing. Tubuh mereka menua. Napas mereka memburu, tetapi keinginan untuk saling bunuh masih saja menyala di mata mereka.
”Mengapa tak kau akhiri saja semua ini, di sini, sekarang juga…,” ucap yang satu dengan suara setengah menggeram.
”Aku pun heran, mengapa kau berlama-lama dengan urusan ini?” balas yang satunya dengan suara penuh dendam.
Sejak benda yang konon turun dari langit itu berada di tangan Anjani, kedua laki-laki itu seperti tersihir untuk merebutnya. Tak perlu alasan lain, keduanya sangat ingin memiliki benda ajaib yang berasal dari matahari itu. Benda yang mampu melihat dunia dan isinya. Benda yang berisi pengetahuan tentang masa lalu dan mendatang. Benda yang mampu menjawab apa yang masih menjadi pertanyaan manusia.
Keduanya masih mengatur napas, menghirup udara jeda, setelah tujuh hari tujuh malam baku hantam. Siang terik, ketika bergulat, tubuh mereka berkeringat, dan matahari membuatnya seolah jilatan kilat. Batu hancur, pohon tumbang, tanah berlubang, debu mengepul, menjauh, karena tak kuasa menahan hantaman tubuh-tubuh yang terjengkang. Malam, tubuh mereka berpijar ketika tangan mereka saling gampar. Angin malam hanya hilir mudik, mengamati pergumulan yang entah kapan akan berhenti.
Ibu mereka hanya menitikkan air mata beku, tubuhnya membatu.
Mereka, kedua anak laki-lakinya itu, sesungguhnya lahir dari sebuah dendam. Dendam yang tumbuh dari benih keinginan yang tak terpenuhi. Dan ketika mereka tumbuh dan saling memusuhi, sang ibu pun tak lagi bisa berbuat apa-apa. Jika saja dia tahu semua akan menjadi seperti saat ini, tentu kedua bayi kembarnya itu telah dibunuhnya, jauh bahkan ketika mereka masih di dalam rahimnya. Akan tetapi, siapakah yang mampu melawan kasih sayang?
Bahkan ketika benda langit itu—yang menurut sang ayah menjadi penyebab perkelahian anak kembarnya itu—dibuang ke udara, perkelahian mereka tak bisa dihentikan sama sekali. Mereka melesat, adu cepat, memburu, mengikuti ke mana benda langit itu akan jatuh. Berhari-hari mereka berlari, menerabas hutan, menghancurkan sawah ladang, melesat meninggalkan kobaran api di hamparan kering ilalang. Mereka berlari seperti adu kencang melawan angin, seolah terbang, sedemikian rupa sehingga seolah mereka lupa, apa sebenarnya yang tengah mereka kejar.
Hingga berminggu-minggu kemudian, ketika masing-masing mengira benda langit itu tenggelam di dasar telaga, barulah keduanya berhenti sejenak. Mereka berseberangan. Setelah bersitatap sesaat, seolah saling memperhitungkan langkah lawan, tiba-tiba mereka melompat dan menghilang ke perut telaga.
Sebatang pohon kawista tua, yang entah sejak kapan tumbuh di pinggir telaga, hanya sedikit mengangguk-anggukkan tubuhnya—ah, barangkali saja dia menggeleng-geleng; siapa yang peduli? Tak ada yang peduli apakah sebatang pohon mengangguk atau menggeleng, bukankah itu semua hanya penamaan dan celakanya manusia hanya punya keterbatasan kata-kata. Yang jelas, pohon kawista itu tersenyum menertawakan kedua manusia yang tiba-tiba menceburkan diri ke dalam telaga.
Seekor capung dengan sepasang matanya yang tak pernah berkedip itu menatap permukaan telaga. Sesaat kemudian menatap kawista, untuk kemudian memandangi permukaan telaga kembali. Hanya ada gelembung udara membuih. Telaga seperti wajah bayi yang lelap pulas dibuai mimpi.
Sementara di perut telaga, seekor ikan gabus tua, yang kumisnya melintang, memanjang mirip lengan gurita, mencoba mempertanyakan apa yang disaksikan matanya. Ketika dia tengah menunggu udang-udang kecil yang bodoh, bermain-main di dekat kumisnya—yang tentu saja akan segera disantapnya dengan tiba-tiba, matanya menangkap sebuah pendar cahaya jatuh dari langit dan tenggelam ke dasar telaga.
Bersamaan dengan gerak lamban benda bercahaya itu, yang perlahan-lahan tenggelam, tibatiba gabus tua itu seperti disadarkan bahwa dirinya adalah sebuah ciptaan. Dia tiba-tiba merasakan daya hidup luar biasa dan karenanya dia mampu mengagumi sebuah keindahan. Itu saja. Pendar cahaya itu kemudian menghilang di dasar telaga, dan dengan sendirinya air telaga menjadi serba temaram kembali.
Namun, baru beberapa saat si gabus merasakan keheningannya kembali, dan tepat ketika seekor udang kecil mengendus-endus bibirnya, tiba-tiba sebuah ceburan dahsyat terjadi di permukaan. Si gabus ternganga, si udang melejit entah ke mana. Dua benda jatuh bersamaan. Meluncur deras menuju dasar telaga, menyisakan buih putih di belakangnya.
Samar-samar, mata si gabus tua bisa menangkap yang jatuh itu adalah dua manusia. Matanya cukup hafal akan sosok makhluk bernama manusia itu. Namun, inilah yang pertama kali terjadi dalam hidupnya; mungkin hanya pernah terjadi di zaman moyang para gabus. Dua manusia itu, dalam perjalanannya menuju dasar telaga, tiba-tiba berubah menjadi kera. Kera bertubuh manusia. Lengan-lengan mereka berbulu. Wajah mereka berbulu. Dan di kedua ujung punggung mereka menjulur ekor panjang.
Yang juga tak dipahami oleh otaknya yang kecil itu adalah ketika dua manusia-kera itu, begitu menyadari bahwa ada ”sosok” asing, yang sama-sama melaju, tiba-tiba berhenti. Tubuh mereka melayang di perut telaga dan dengan tiba-tiba pergulatan pun terjadi.
Perkelahian. Bukan, ini sebuah nafsu membunuh yang tumpah begitu saja. Karena, di mata si gabus, keduanya benar-benar tak memiliki ampun bagi lawan. Seakan mereka hanya mau berhenti jika lawan mati. Bisakah kau menciptakan nama untuk kekejian ini?
Sesekali mereka berebut menuju dasar, tetapi sesaat kemudian, setelah pergulatan saling menghalangi terjadi, keduanya meluncur ke permukaan. Begitu berulang kali.
Para batu yang tertidur abadi terbangun oleh arus panas dua makhluk itu. Dalam diam dan kebekuan pandangan, mereka bersepakat dengan palung dan air untuk mengirimkan kembali kedua makhluk itu ke permukaan.
Maka, gabus tua itu menyaksikan dengan mata kepalanya kedua makhluk itu termuntahkan ke permukaan. Seketika telaga temaram dan sejuk kembali.
Sebaliknya, pohon kawista yang tengah terkantuk-kantuk setelah tadi tersenyum, atau menggeleng, mendadak terkejut. Seandainya saja dia tak berakar, tentu dia sudah terlontar entah ke mana. Tiba-tiba dua makhluk aneh, seperti manusia sekaligus kera, terlontar tinggi ke udara bersama semburan air dahsyat dari dasar telaga.
Dua tubuh itu terpelanting tak berdaya, satu ke kiri, yang satu ke kanan. Jatuh berdebuk ke bumi dan tak sadarkan diri. Hening. Capung-capung merubung, mungkin curiga. Di sela-sela bunga kemuning, lebah mendengung mendambakan madu bening. Uir-uir mendetir-detir, mewartakan keheningan hingga ke pinggir-pinggir.
Namun, itu semua hanya beberapa saat. Kelopak mata masing-masing mulai berkedut-kedut. Ada kehidupan kembali pada tubuh mereka. Sesaat kemudian keduanya menggeliat. Seperti disengat oleh ingatan purba, mereka melanjutkan perkelahian itu kembali. Begitu saja.
Matahari mulai melorot, merah, lelah memelototi dua makhluk yang masih saja saling menimpakan maut kepada lawannya. Malam gulita, seolah meniru seorang dewi yang bersumpah tak ingin menyaksikan matahari, dan kedua manusia-kera itu belum tahu kapan akan mengakhiri laga mereka.
Sementara itu, telaga itu sendiri, oleh daya gaib benda bercahaya yang ada di dasarnya, telah berubah menjadi sebuah dunia. Gabus tua itu kini sudah bisa mengenali sanak saudaranya, dan membentuk keluarga-keluarga baru, beranak pinak, bercucu dan bercicit. Udang-udang pun yang tak lagi terancam tertelan gabus-gabus mengembangkan kebudayaan mereka di sela-sela karang di dasar telaga. Adapun ras para batu berkembang dalam kebekuan dan tidur abadinya. Tubuhnya dipersembahkan bagi kaum lumut untuk berkembang dan menebal hijau. Dan kaum lumut kian sadar bahwa dirinya tercipta sebagai dunia bagi kaum kriwil kecil tak kasatmata.
Aneh memang. Telaga dan penghuninya itu seolah mendapat cahaya baru, pengertian baru, pandangan baru tentang keberadaan mereka.
Kawista, yang menyerap air telaga, kini berkembang biak dengan buah-buahnya yang manis. Dia kian muda dan karenanya buahnya bertambah lebat. Di sepanjang bibir telaga kini telah tumbuh ratusan batang kawista muda, di sela-sela kemuning, soka, dan bunga api rimba.
Namun, manusia-kera itu belum juga menyudahi sengketa mereka. Hidup mereka sudah kusut masai, tetapi perkelahian mereka belum usai.
Mereka telah benar-benar lupa, apa yang membuat mereka berlaga. Mereka mungkin sudah tak peduli mengapa mereka ingin membuat hidup lawan tersudahi.
Bulu-bulu di tubuh mereka sudah mengelabu termakan waktu, tetapi keinginan membunuh masih saja menggebu.
Seribu tahun berlalu dan mereka belum juga jemu. Perkelahian mereka menjadi adat yang dipahami manusia sebagai teladan. Ketika dunia dipenuhi manusia yang selalu terburu waktu ke mana pun mereka menuju, pergulatan manusia-kera itu masih berkelebat, berpijar, di sana-sini.
Tak perlu lagi alasan mengapa sebuah perkelahian terjadi, karena bukankah sudah seperti makan, minum, tidur, dan bercinta? Rasanya kurang pas jika dalam hidup tak ada laga, begitulah angin berkisah tentang pengalaman perjalanannya mengelilingi dunia.
Para orangtua hanya merenung, memandangi kelebatan bayangan yang melintas dan melibas peradaban anak cucunya. Mereka menyebut dua manusia kera itu Sugriwa-Subali. Perseteruan yang tak pernah usai. Perselisihan yang tak pernah lerai. Persengketaan yang tak kunjung selesai.
Bumi seakan tak lagi dihuni para laksmi. Mereka pergi menuju kayangan Saraswati karena bumi telah tak lagi suci.
Dua manusia kera itu terkutuk dalam sebuah laga tanpa tepi. Mungkin saja mereka sengsara, tetapi sekali lagi itu hanya kata-kata yang, sekali lagi, hanya sebatas itu yang kita pahami. Mereka kembali mendengar gaung suara itu, yang seakan mengingatkan mereka akan sesuatu. Setelah semua ini, lalu apa? Setelah perseteruan ini, lantas apa? Masih adakah yang tersisa ketika kita habiskan seluruh kebencian dan sakit hati ini? Ataukah kita memang dilahirkan untuk saling bunuh?
Namun, sekali lagi, perkelahian itu sudah mengadat, padat, dan mereka—dua manusia-kera itu—terkurung di dalamnya tanpa daya sama sekali.
Dua Perempuan di Satu Rumah
Sampai tiba hari kematiannya, Oktober 1984, Seto sudah melakukan enam perbuatan tak pantas, memecahkan tempurung lutut anak buahnya yang berkhianat, dan menulis 37 puisi yang menyedihkan. Ia ditembak mati pada dini hari dan mayatnya dibuang di dekat petak-petak tambak di pesisir utara Semarang dan kelihatannya memang sengaja ditaruh di tempat yang mudah dilihat orang. Ketika hari terang, tiga orang yang berangkat mengail menemukan mayat Seto terbungkus karung. Umurku 5 tahun ketika pemberantasan misterius itu berlangsung dan ibuku 26 tahun. Sebulan setelah melewati usia 30, ibuku meninggal, sebagian karena sedih dan sebagian karena penyakit parah di tenggorokannya. Dalam dua tahun terakhir hidupnya, ia tidak bisa bicara dan tampak seperti cacing.
Seto mati pada usia 30 tahun kurang tiga bulan, kurang lebih sama dengan umurku sekarang. Aku sedang membaca puisi-puisi murungnya di kamarku dan tidak bisa tidur hingga larut malam dan merasakan desakan takdir untuk menuliskan cerita ini. Kupikir waktuku tinggal sedikit lagi untuk menyampaikan apa yang ingin kusampaikan.
Kautahu, air cucuran atap jatuhnya pastilah ke situ-situ juga; dan aku tak akan berbeda jauh dengan ibu dan Seto, ayahku, yang keduanya sama-sama mati di seputar usia 30-an. Jadi kurasa aku akan segera mati dan cerita ini akan menjadi satu-satunya cerita yang pernah kutulis. Dan jika takdirku seperti itu, hanya akan menulis satu cerita, Setolah yang sepanjang hidup ada di benakku. Bertahun-tahun aku membaca puisi-puisinya, yang kutemukan di peti peninggalan ibu, dan dari bahan itu aku akan menulis masa kecil Seto, ayah yang tak benar-benar kukenal namun mewariskan kepadaku nama buruk yang membuatku terbanting-banting.
Namun aku tidak membencinya; aku hanya ingin menulis cerita tentangnya. Ini hanya sebuah cara mengenali dari mana diri kita bermula lalu tumbuh merambat, melata, dan terlunta-lunta. Maka, sampai di sinilah pengantarku dan kita masuk ke ”aku” lain yang bukan aku: dialah ayahku….
”Seto! Ayo dikunyah! Cepat ditelan! Gigimu bakalan keropos kalau cara makanmu begitu!”
Ibu menjaga tertib rumah kami dengan mulut yang ribut. Ia berisik ketika menyuapiku makan. Ia berisik ketika memaksaku mandi meskipun aku masih ingin bermain-main. Ia selalu memaksaku tidur siang meskipun aku tidak mengantuk. Dan ia memaksaku bangun ketika aku masih mengantuk, dan langsung menjejaliku sarapan sebelum aku benar-benar sadar.
Ia membuatku ogah-ogahan. Aku mandi dengan cara duduk saja tanpa segera mengguyurkan air; aku makan dengan cara berlama-lama menahan nasi di mulutku; aku tak cepat menyahut ketika ia memanggilku. Ibu akan semakin bising dan aku semakin tidak mengantuk jika ia menyuruhku tidur siang. Kata ayah, itu karena ibu mencintaiku. Aku tidak percaya pada apa yang ia katakan, tetapi aku menyukai caranya bicara. Ia pasti meletakkan aku di pangkuannya jika ingin mengajakku membicarakan ibu, dan aku menikmati obrolan dengannya meskipun tidak semua omongannya tentang ibu bisa kupercaya.
Sering aku memberontak pada ibu, dan ibu akan melaporkan hal itu sore hari sebelum ayah menanggalkan baju kerjanya, dan pernah suatu hari kudengar ayah bilang, ”Kau sendiri, apa tidak capek ribut sehari-harian dengan anak?”
”Kalian ayah dan anak sama saja,” balas ibu sengit.
Malam itu, ketika ibu sedang menidurkan adikku, ayah mengajukan pertanyaan setelah ia memuji gambar yang baru selesai kubuat—pertanyaan yang sudah sering kudengar.
”Kau tidak menyayangi ibu, Seto?”
”Tidak.”
”Begitu rupanya?”
”Ia marah-marah terus.”
”Karena ia menyayangimu.”
”Tapi ia marah-marah terus.”
”Mungkin kau membuatnya kesal.”
Aku memberontak hendak turun dari pangkuannya, tetapi ia menahanku dan mengelus-elus kepalaku. ”Kurasa kalian lebih baik bersahabat,” katanya.
”Aku tidak mau,” kataku.
”Tidak ada masalah,” katanya. ”Aku cuma bilang lebih baik kalian bersahabat. Kalau kau tidak mau, aku tak bisa memaksamu.”
”Tapi aku sebetulnya mau bersahabat, asalkan ia tidak ribut.”
”Kurasa ia akan senang sekali mendengarnya.”
Ayahku orang baik dan ia bilang ibuku orang baik, tetapi kadang mereka ribut juga—bisanya ibu yang memulai: Kenapa kau tidak menelepon? Kenapa makan pagimu tadi seperti anak cacingan? Kenapa tidak memberi tahu kalau pulang agak telat?
Kurasa ibuku menganggap urusan-urusan yang demikian itu sangat penting dan sepertinya ayah tidak beranggapan begitu. Karena itulah mereka kadang-kadang ribut. Tetapi mereka pasangan yang baik dan seterusnya tetap berpasangan secara baik meskipun ayahku kemudian mengubah dirinya dan aku menjadi bingung harus memanggilnya apa. Ia masuk ke rumah sakit suatu hari, setelah berhasil menjual tanah warisan orang tuanya, dan pulang ke rumah sebagai perempuan. Ia tak pernah berpikir bahwa itu akan memberiku banyak kesulitan.
Di awal-awal perubahannya, aku masih sering keliru memanggilnya ayah. Tetapi sebutan itu tak cocok lagi untuknya dan aku tak menemukan sebutan baru. Aku menjauhinya karena tak menemukan sebutan yang tepat untuknya.
Ia tetap mendekatiku. Ia masih suka meraihku dan mendudukkanku di pangkuannya dan ia tahu bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang mati. Itu membuat perasaanku tak menentu jika melihat kunang-kunang di hari liburan sekolah ketika ibu membawaku menginap beberapa hari di rumah orang tuanya—sebuah rumah di dekat sawah, dua jam naik bus dari kota kami. Di sana aku merasa seperti berada di dalam kepungan kuku-kuku hantu.
Aku bisa merasakan bahwa ia ingin selalu bersikap sama kepadaku meskipun ia sudah menjadi perempuan dan payudaranya lebih menggunduk ketimbang payudara ibuku. Aku merasakan payudara itu menyentuh punggungku ketika aku duduk di pangkuannya dan aku tak tahu harus memanggilnya apa. Ia masih suka menanya-nanyakan pelajaran sekolahku, tetapi kini suaranya terdengar sengau di telingaku dan aku tak ingin menjawab apa pun yang ia tanyakan dengan suara sengaunya. Sampai kapan pun suara itu tak enak didengar, tetapi ia tetap baik kepadaku dan masih suka mendudukkanku di pangkuannya, hanya saja lidahku tak lancar lagi berbicara dengannya.
Pernah kutanyakan kepada ibu, ketika kami sedang berdua saja di rumah, kenapa ayah menjadi perempuan. Ibu mengatakan entahlah. ”Aku menikah dengan lelaki, tetapi sekarang ini harus berumah tangga dengan perempuan meskipun aku bukan lesbian,” katanya. Bertahun-tahun kemudian, aku menyadari bahwa semestinya ibu tidak menjawab dengan cara seperti itu kepadaku. Ucapan yang getir tak semestinya disampaikan oleh seorang ibu kepada anaknya; lagi pula waktu itu aku tidak tahu apa yang ia maksud lesbian.
Namun mereka tetap pasangan yang baik dan aku tetap tinggal serumah bersama mereka, dengan lidah yang tak tahu harus memanggil apa kepada ayahku. Ayahku hampir setinggi ambang pintu dan kini ia tampak seperti perempuan raksasa. Dan ibu menjadi perempuan yang tak peduli. Ia tidak lagi cerewet dan aku diam-diam menginginkan ia kembali bising seperti semula. Kau tahu, sejak ayahku menjadi perempuan, ibu tidak lagi memaksaku mandi, mengunyah nasi cepat-cepat, atau tidur siang; ia sepertinya mencabut semua larangan. Aku sendiri pun tidak banyak keluar bermain dengan teman-temanku. Paling-paling aku duduk-duduk saja di pekarangan belakang. Di sana ada kalkun piaraan dan, meskipun aku tidak membenci ayahku, aku ingin melihat binatang ini mematuk teteknya.
Ayah masih sering keluar rumah, pergi seharian, dan kulihat ia sudah jarang atau mungkin tidak pernah lagi berkumpul dengan bapak-bapak lain di kampung. Ia tidak lagi datang ke arisan bapak-bapak setiap bulan, tapi juga tidak ikut arisan ibu-ibu. Sampai aku kelas enam SD, ayahku masih suka meraihku; aku semakin menjauh dari jangkauannya karena sudah hampir ujian dan aku tidak ingin mendapatkan banyak kesulitan.
Teman-temanku di sekolah, yang akhirnya tahu bahwa ayahku berubah menjadi perempuan, mengatakan bahwa ayahku banci. Mereka benar, kautahu, tetapi aku sesungguhnya marah sekali mendengar mereka mengatakan ayahku banci. Ayahku berbeda dari ayah mereka, aku sendiri tahu itu. Di antara ayah-ayah kami, hanya ayahku yang pergi ke rumah sakit untuk membesarkan payudara di dadanya. Persoalannya, mereka tak bisa menjaga mulut mereka sementara aku tak bisa membuka mulutku untuk membalas mereka. Aku menjadi mudah demam, pilek, dan sakit- sakitan; mungkin karena memendam kemarahan.
Tetapi aku pernah benar-benar tak tahan dan itu terjadi pada bulan puasa. Tenggorokanku kering dan mataharinya panas sekali dan aku sedang berjalan menunduk dengan langkah buru- buru, menyempal dari teman- teman yang berjalan bergerombol sepulang sekolah. Lalu kudengar suara di belakangku memanggil, hai anak banci. Kautahu, orang yang berpuasa memang mudah mendapatkan godaan; saat itu aku menoleh dan menghentikan langkah dan menanyakan siapa yang memanggilku anak banci.
”Aku,” kata salah satu temanku.
”Ayahmu buntung,” kataku.
Kami berantam. Ia tidak suka mendengar itu meskipun aku mengatakan yang sebenarnya— kaki kiri ayahnya memang buntung. Kupikir mereka seharusnya juga tahu bahwa aku tak suka jika mereka mengatakan ayahku banci.
Mereka berenam menyantapku dan aku pulang ke rumah dengan muka lebam dan kepala berdarah; dadaku nyeri sekali oleh jotosan dan rasa marah yang tak pernah tersingkirkan sampai bertahun-tahun kemudian. Malamnya aku demam tinggi dan keesokannya ibu membawaku ke rumah sakit. Luka di kepalaku harus dijahit.
Ibu berbohong sewaktu mengisi blangko yang harus diisi. Nama Ayah: Lindu Praptanto. Itu nama yang tidak ada lagi di rumah kami, sebab kini ayahku sudah mengganti namanya menjadi Linda Praptanto, terasa seperti nama artis. Ia tetap mempertahankan nama belakang yang kini terdengar seperti nama ayahnya. Kautahu, artis-artis sering menggunakan nama ayah mereka di belakang nama mereka sendiri. Misalnya Adi Bing Slamet, karena nama ayahnya Bing Slamet; Sari Yok Koeswoyo, karena nama ayahnya Yok Koeswoyo. Namun tidak selalu begitu. Darto Helm, misalnya, tentu bukan karena ayahnya bernama Helm.
Empat hari aku menginap di rumah sakit.
”Kenapa ayah menjadi banci?” tanyaku pada ibu ketika ia menjengukku. Aku sudah pernah menanyakan hal yang sama sebelumnya tetapi ibu hanya menyodorkan suara getirnya dan itu bukan jawaban.
”Tanyakan sendiri padanya.”
Aku tidak ingin menanyakan apa pun kepada ayah, dan sepertinya ibu bisa membaca apa yang tidak kuinginkan. Akhirnya ia bilang, ”Ayahmu sudah gila.”
Itu juga bukan jawaban.
Sekalipun aku tetap bingung kenapa ayahku tiba-tiba menjadi perempuan, dan aku merasa tidak nyaman lagi duduk di pangkuannya dan tidak ingin bicara dengannya, namun aku tidak bisa mendengar ibuku mengatakan ayahku sudah gila. Aku tetap meyakini bahwa ia tidak gila, hanya saja bagi ibuku ia memang mungkin sudah gila.
Tidak pernah kubenci ayahku, dia pernah menjadi ayah yang baik, namun kuharap ia paham jika aku menghindarinya. Sejak masuk SMP aku bergaul dengan teman-teman yang suka merokok dan aku juga merokok dengan congkak di rumah. Ibuku tidak peduli apa yang kulakukan. Ia benar-benar sudah mencabut semua larangan. Ayahku mengingatkan bahwa belum saatnya aku merokok. Kukatakan kepadanya, ”Kau bukan ayahku. Apa pedulimu?”
Ia tak bisa apa-apa.
Dan seterusnya ia tak bisa apa-apa ketika aku tumbuh sesukaku dan mulai mabuk dan membuat keributan di tempat mangkal para banci. Ada dua alasanku untuk melakukan hal ini. Pertama, para banci itu akan melengking-lengking berisik sekali. Aku senang mendengar mereka berisik karena ibuku tak lagi berisik dan aku merindukan keberisikannya. Kedua, aku mau ayah menjauhiku. Aku tahu bahwa ia tetap ingin dekat denganku, dan aku sesungguhnya sedih menyakiti perasaan orang yang tetap ingin dekat denganku. Bagaimanapun, aku masih menyimpan ingatan baik tentangnya sebagai ayah yang menyenangkan. Kupikir rasa bersalahku akan sedikit berkurang jika ia membenciku; karena itulah aku menunjukkan tindakan tidak hormat kepada orang-orang sepertinya. Kau tahu, sebelum aku membangun dan mengepalai kelompokku, aku sudah pernah menyiksa enam orang banci meski tak ada salah mereka kepadaku. Aku hanya berharap ayah membenciku dan menjauhiku.
Albert Einstein
Albert Einstein (lahir 14 Maret 1879 – meninggal 18 April 1955 pada umur 76 tahun) adalah seorang ilmuwan fisika teoretis yang dipandang luas sebagai ilmuwan terbesar dalam abad ke-20. Dia mengemukakan teori relativitas dan juga banyak menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistik, dan kosmologi. Dia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Fisika pada tahun 1921 untuk penjelasannya tentang efek fotoelektrik dan "pengabdiannya bagi Fisika Teoretis".
Setelah teori relativitas umum dirumuskan, Einstein menjadi terkenal ke seluruh dunia, pencapaian yang tidak biasa bagi seorang ilmuwan. Di masa tuanya, keterkenalannya melampaui ketenaran semua ilmuwan dalam sejarah, dan dalam budaya populer, kata Einstein dianggap bersinonim dengan kecerdasan atau bahkan jenius. Wajahnya merupakan salah satu yang paling dikenal di seluruh dunia.
Pada tahun 1999, Einstein dinamakan "Tokoh Abad Ini" oleh majalah Time. Kepopulerannya juga membuat nama "Einstein" digunakan secara luas dalam iklan dan barang dagangan lain, dan akhirnya "Albert Einstein" didaftarkan sebagai merk dagang.
Untuk menghargainya, sebuah satuan dalam fotokimia dinamai einstein, sebuah unsur kimia dinamai einsteinium, dan sebuah asteroid dinamai 2001 Einstein.
Rumus Einstein yang paling terkenal adalah E=mc²
Masa muda dan universitas
Einstein dilahirkan di Ulm di Württemberg, Jerman; sekitar 100 km sebelah timur Stuttgart. Bapaknya bernama Hermann Einstein, seorang penjual ranjang bulu yang kemudian menjalani pekerjaan elektrokimia, dan ibunya bernama Pauline. Mereka menikah di Stuttgart-Bad Cannstatt. Keluarga mereka keturunan Yahudi; Albert disekolahkan di sekolah Katholik dan atas keinginan ibunya dia diberi pelajaran biola.
Pada umur lima tahun, ayahnya menunjukkan kompas kantung, dan Einstein menyadari bahwa sesuatu di ruang yang "kosong" ini beraksi terhadap jarum di kompas tersebut; dia kemudian menjelaskan pengalamannya ini sebagai salah satu saat yang paling menggugah dalam hidupnya. Meskipun dia membuat model dan alat mekanik sebagai hobi, dia dianggap sebagai pelajar yang lambat, kemungkinan disebabkan oleh dyslexia, sifat pemalu, atau karena struktur yang jarang dan tidak biasa pada otaknya (diteliti setelah kematiannya). Dia kemudian diberikan penghargaan untuk teori relativitasnya karena kelambatannya ini, dan berkata dengan berpikir dalam tentang ruang dan waktu dari anak-anak lainnya, dia mampu mengembangkan kepandaian yang lebih berkembang. Pendapat lainnya, berkembang belakangan ini, tentang perkembangan mentalnya adalah dia menderita Sindrom Asperger, sebuah kondisi yang berhubungan dengan autisme. Einstein mulai belajar matematika pada umur dua belas tahun. Ada gosip bahwa dia gagal dalam matematika dalam jenjang pendidikannya, tetapi ini tidak benar; penggantian dalam penilaian membuat bingung pada tahun berikutnya. Dua pamannya membantu mengembangkan ketertarikannya terhadap dunia intelek pada masa akhir kanak-kanaknya dan awal remaja dengan memberikan usulan dan buku tentang sains dan matematika. Pada tahun 1894, dikarenakan kegagalan bisnis elektrokimia ayahnya, Einstein pindah dari Munich ke Pavia, Italia (dekat kota Milan). Albert tetap tinggal untuk menyelesaikan sekolah, menyelesaikan satu semester sebelum bergabung kembali dengan keluarganya di Pavia. Kegagalannya dalam seni liberal dalam tes masuk Eidgenössische Technische Hochschule (Institut Teknologi Swiss Federal, di Zurich) pada tahun berikutnya adalah sebuah langkah mundur dia oleh keluarganya dikirim ke Aarau, Swiss, untuk menyelesaikan sekolah menengahnya, di mana dia menerima diploma pada tahun 1896, Einstein beberapa kali mendaftar di Eidgenössische Technische Hochschule. Pada tahun berikutnya dia melepas kewarganegaraan Württemberg, dan menjadi tak bekewarganegaraan.
'Einsteinhaus' di kota Bern di mana Einstein dan Mileva tinggal (di lantai 1) pada masa Annus Mirabilis Pada 1898, Einstein menemui dan jatuh cinta kepada Mileva Marić, seorang Serbia yang merupakan teman kelasnya (juga teman Nikola Tesla). Pada tahun 1900, dia diberikan gelar untuk mengajar oleh Eidgenössische Technische Hochschule dan diterima sebagai warga negara Swiss pada 1901. Selama masa ini Einstein mendiskusikan ketertarikannya terhadap sains kepada teman-teman dekatnya, termasuk Mileva. Dia dan Mileva memiliki seorang putri bernama Lieserl, lahir dalam bulan Januari tahun 1902. Lieserl Einstein, pada waktu itu, dianggap tidak legal karena orang tuanya tidak menikah.
Kerja dan Gelar Doktor
Pada saat kelulusannya Einstein tidak dapat menemukan pekerjaan mengajar, keterburuannya sebagai orang muda yang mudah membuat marah professornya. Ayah seorang teman kelas menolongnya mendapatkan pekerjaan sebagai asisten teknik pemeriksa di Kantor Paten Swiss pada tahun 1902. Di sana, Einstein menilai aplikasi paten penemu untuk alat yang memerlukan pengetahuan fisika. Dia juga belajar menyadari pentingnya aplikasi dibanding dengan penjelasan yang buruk, dan belajar dari direktur bagaimana "menjelaskan dirinya secara benar". Dia kadang-kadang membetulkan desain mereka dan juga mengevaluasi kepraktisan hasil kerja mereka. Einstein menikahi Mileva pada 6 Januari 1903. Pernikahan Einstein dengan Mileva, seorang matematikawan. Pada 14 Mei 1904, anak pertama dari pasangan ini, Hans Albert Einstein, lahir. Pada 1904, posisi Einstein di Kantor Paten Swiss menjadi tetap. Dia mendapatkan gelar doktor setelah menyerahkan thesis "Eine neue Bestimmung der Moleküldimensionen" ("On a new determination of molecular dimensions") pada tahun 1905 dari Universitas Zürich. Di tahun yang sama dia menulis empat artikel yang memberikan dasar fisika modern, tanpa banyak sastra sains yang dapat ia tunjuk atau banyak kolega dalam sains yang dapat ia diskusikan tentang teorinya. Banyak fisikawan setuju bahwa ketiga thesis itu (tentang gerak Brownian), efek fotolistrik, dan relativitas khusus) pantas mendapat Penghargaan Nobel. Tetapi hanya thesis tentang efek fotoelektrik yang mendapatkan penghargaan tersebut. Ini adalah sebuah ironi, bukan hanya karena Einstein lebih tahu banyak tentang relativitas, tetapi juga karena efek fotoelektrik adalah sebuah fenomena kuantum, dan Einstein menjadi terbebas dari jalan dalam teori kuantum. Yang membuat thesisnya luar biasa adalah, dalam setiap kasus, Einstein dengan yakin mengambil ide dari teori fisika ke konsekuensi logis dan berhasil menjelaskan hasil eksperimen yang membingungkan para ilmuwan selama beberapa dekade. Dia menyerahkan thesis-thesisnya ke "Annalen der Physik". Mereka biasanya ditujukan kepada "Annus Mirabilis Papers" (dari Latin: Tahun luar biasa). Persatuan Fisika Murni dan Aplikasi (IUPAP) merencanakan untuk merayakan 100 tahun publikasi pekerjaan Einstein di tahun 1905 sebagai Tahun Fisika 2005.
Gerakan Brown
Di artikel pertamanya di tahun 1905 bernama "On the Motion—Required by the Molecular Kinetic Theory of Heat—of Small Particles Suspended in a Stationary Liquid", mencakup penelitian tentang gerakan Brownian. Menggunakan teori kinetik cairan yang pada saat itu kontroversial, dia menetapkan bahwa fenomena, yang masih kurang penjelasan yang memuaskan setelah beberapa dekade setelah ia pertama kali diamati, memberikan bukti empirik (atas dasar pengamatan dan eksperimen) kenyataan pada atom. Dan juga meminjamkan keyakinan pada mekanika statistika, yang pada saat itu juga kontroversial.
Sebelum thesis ini, atom dikenal sebagai konsep yang berguna, tetapi fisikawan dan kimiawan berdebat dengan sengit apakah atom itu benar-benar suatu benda yang nyata. Diskusi statistik Einstein tentang kelakuan atom memberikan pelaku eksperimen sebuah cara untuk menghitung atom hanya dengan melihat melalui mikroskop biasa. Wilhelm Ostwald, seorang pemimpin sekolah anti-atom, kemudian memberitahu Arnold Sommerfeld bahwa ia telah berkonversi kepada penjelasan komplit Einstein tentang gerakan Brown.
Oleh : Ropi’I Wara
Kelas X Ak2
No. 9
IENCHAN (dont look back)
Petang itu seperti biasa Ienchan duduk di sofa lebar di ruang tamunya sendirian memakai baju oranye bertuliskan "jogja jogja" dan celana pendek favoritnya, ia menghadap ke jendela besar depan rumah, dengan penerangan lampu yang hampir mati, petang itu sangatlah sunyi,ia hanya ditemani suara gemuruh dan kilatan cahaya dari petir petir yang memasuki rumah. Senyumnya tampak dari belakang namun mulutnya diam seribu bahasa. Wajah tanpa ekspresi dan tatapan mata kosong yang tajam serasa menusuk jantung siapapun yang melihatnya. Rambutnya tergerai ke belakang sedikit acak acakan poninya menutupi sebagaian wajahnya, 2 bola matanya yang berkilat kilat terkena cahaya petir dari luar rumah itu memandang jauh kedepan seakan ingin menembus nirwana.
Tidak lain dia adalah Ienchan, Gadis yatim piatu yang tinggal sendiri di rumahnya, hanya terkadang pamannya yang ada diluar kota menengok keadaannya. Petang itu cuaca memang sedang tak bersahabat, hujan turun sangat deras disertai angin kencang, dan juga suara gemuruh dan cahaya petir yang berkilat kilat menggelegar, namun Ienchan tak bergeming dari tempat ia biasa duduk di depan kaca besar dirumahnya
Tiba tiba bunyi handphone memecah kesunyian itu, terlintas sebuah nama dengan inisal H dilayar handphone, perlahan tangannya menulis sebuah kata untuknya masih dengan tatap kosong menghadap kejendela besar yang berada di depannya....
Perlahan tapi pasti Ienchan melangkah ke belakang rumahnya diterangi cahaya kilat yang masih mencambuk angkasa itu, dia membuka pintu kamarnya "Kreeeeeeet" suaranya begitu memilukan bila orang mendengar saat ia membuka pintu reot itu. Ia kemudian masuk kedalam dan mengambil handuk untuk ia mandi dan melangkah kembalike depan.sorot matanya tertuju pada lukisan orang tuanya didinding tebal nan dingin dikamar tua itu.
Langkah demi langkah perlahan ia ambil menuju kamar mandi di dekat dapur rumahnya. Terlihat seekor kucing hitam dengan mata yang bercahaya mendekati gadis itu, kucing itu mengikuti kemanapun Ienchan pergi, namuan tiba tiba kucing itu terhenti didekat pintu kecil kamar mandi itu Ienchan terdiam sejenak, tiba tiba bayangan hitam besar serasa lewat dibelakang Ienchan hawa mencekam langsung menyerubutinya, jantungnya berdegup dengan kencang wajahnya was was ketakutan, diremas erat handuk ditangannya rasa ingin tau muncul dibenak Ienchan.
Dengan sedikit keberanian Ienchan mencoba menoleh kebelakang... Jantungnya berdegup kencang kedua matanya mencoba melirik ke belakang namun tiba tiba suara ketukan pintu depan rumah bersamaan dengan cahaya kilat yang sangat terang dan suara gemuruh menggelegar sangat keras mengejutkannya Pintu depannya terus diketuk dengan lirih dan perlahan namun berulang ulang, Ienchan melangkah was was kedepan rumah, dan kucingnya pergi entah kemana.
Kilatan kilatan petir membuat lorong rumah yang dilewatinya gelap terang terkena cahaya kilat. Lukisan lukisan serta patung patung tua di lorong yang terkena cahaya tersebut tampak mengerikan membuat bulu kuduknya berdiri. Perlahan ia menengok dibalik dinding, bayangan seorang pria bertopi didepan rumah jelas tampak ketika diterangi cahaya petir yang terlihat dari dalam rumah.. Tiba tiba pintu itu didobrak "BRAAAAAAAAK" sosok lelaki bertopi itu terlihat jelas di depan cahaya kilat dari luar rumah yang menyilaukan mata
Ienchan lari ketakutan mengunci diri kedalam kamar ibunya tadi, Ienchan bersembunyi dibawah meja, tubuhnya bergetar hebat ketakutan, wajahnya pucat, keringat dingin keluar dari tubuhnya, air mata mengalir deras di pipi tembamnya, kedua tangannya menutup mulutnya agar tangisannya tak terdengar dari luar, lalu tiba tiba suara kaki pria itu berhenti didepan kamar ibunya “Aku tau kau disini, keluarlah!!” Ienchan hanya bisa diam dan ketakuan wajahnya tambah pucat, pria itu semakin lama semakin menjadi jadi berteriak teriak didepan pintu kamar ibunya.
Waktu terus berlalu, Suara pria itu itu sedikit demi sedikit hilang ditelan bunyi hujan yang semakin deras Ienchan bangkit dari bawah meja, melangkah perlahan ke pintu, ia tempelkan telinganya kepintu itu terdengar suara langkah kaki menjauhi pintu dan tiba tiba hilang,seberkas cahaya terang menyinari jendela kamar, Ienchan lalu melangkah ke jendela ia melihat mobil sedan hitam pergi dari halamannya ditengah hujan deras, Ienchan merebahkan dirinya ke tempat tidur, tanda tanya besar muncul dibenak Ienchan "Siapakah gerangan lelaki itu?" ia mencoba mengingat namun tak menemukan apa apa.. Dirinya malah tertidur pulas karena kelelahan dikamar itu.
Kesokan harinya Ienchan bangun dari tidurnya, berjalan dengan lemas ke kamar mandi, perlahan ia keluar terlihat sinar matahari masuk tanpa halangan dari pintu yang didobrak tadi malam, dengan cuek dia berjalan ke kamar mandi. Ia nyalakan shower di kamar mandi itu, Ienchan menikmati mandinya berusaha tenang atas kejadian semalam
Setelah mandi Ienchan berjalan keluar rumah tua itu menuju kota, langkah demi langkah ia ambil seperti biasa dia cuek akan orang yang ada disekitarnya,bahkan yang menyapanya seklipun, dia hanya terus berjalan dan berjalan dengan wajah tanpa ekspresi itu.
Ienchan berjalan didekat pusat pertokoan.dsana ia cma mau membeli buku tiba tiba ..happ .. seseorang memeluknya dari belakang Ienchan kaget setengah mati ! Seseorang memeluknya erat dari belakang . Dia berontak tanpa peduli siapa yang memeluknya "argght .. Lepasin ! Lepasin.. " Ienchan berontak" tenang iin .. Tenang iin ini aku ! Pacar kmu ! Haris .. "pelukannya mengendur,ratusan pasang mata melihat dengan rasa tak peduli.perlahan pelukannya mengendur.secepat kilat Ienchan memutar badannya.
Wajahnya memerah seketika. Dia memeluk laki laki tadi sambil menangis tanpa memperdulikan pandangan tak bersahabat dari orang sekitar. "ada apa? kenapa kamu menangis begini?" haris cemas dan malu "aku takut kak.. Hikz..hikz.."suaranya terputus putus." takut knapa? Apa yang terjadi sebenarnya? Ayo kita ke tempatku di toko.", "he.em" jawab Ienchan singkat. Mereka berjalan ke toko tempat haris bekerja.Ienchan masih saja berjalan memeluk lengan haris erat tanpa peduli orang lain.matanya merah dan bengkak.
Di toko ,mereka masuk ke dapur, terlihat jelas dapur toko minimarket itu sangat terawat. Haris masih saja bingung , apa yang terjadi dengan wanita yang paling dia sayangi. Sambil menerka nerka, haris memberikan segelas air minum dingin kepada Ienchan"iin,ada apa? kamu knapa? Crita ma kaka .. " bujuk haris. Namun Ienchan malah gemetar, matanya mencuri pandang memata matai apakah ada orang lain di luar, keringat dinginnya mulai mengalir deras. Dipegangnya tangan Ienchan oleh haris " ayo crita, apa yang terjadi dengan ade? " tanya haris lirih."hmm,. D.. D.. Di..di..di..dia .. " Ienchan bergumam tak jelas, semakin lama gemetarnya menjadi2. air digelaspun bergejolak hebat hingga muncrat ke meja. Dipeluknya Ienchan sambil berbisik."kaka syang dd, ayo crita ke kaka apa yang terjadi .. " . Ienchan diam sejenak lalu membisikan dengan sangat lirih " d..d..dia k.kem..ba..li.." . Tangan Ienchan menumpahkan air dan gelasnya jatuh dr meja menimbulkan suara yang mengagetkan."AARGGHHHTTT " Ienchan berteriak dan menutup kedua telinganya.
Sontak haris cemas. Kepala toko masuk ke dapur karena suara gaduh tadi." ada apa? siapa yang berteriak ? " tanya kepala toko" Ienchan pak, maaf ya pak dia lg gak tau knapa pak ."," bawa dia pulang saja. jangan disini. biar dia istirahat saja. sangat jelas dia kecapean.", "saya izin nganterin ya pak ", "ya udah sana. jangan kelamaan. sore ini toko sedang ramai.", "siap pak". Haris mengajak Ienchan pulang. Ienchan menurut saja walau perasaannya sangat tidak ingin kembali kerumah itu.
"ka.." ujar Ienchan ragu " ya de, ada apa?" jawab haris lembut. "ga jadi ka" Ienchan menggeleng gelengkan kepalanya. Sore itu, mereka menuju rumah Ienchan menggunakan sepeda motor . setibanya dipertigaan dekat rumah mereka berhenti. " maaf de, kaka ga bsa anterin dde sampai rumah. gapapa kan?" ujar haris agak takut."emmb.. Ya ." sahut Ienchan lirih."istirahat y de.kamu pasti kecapean.." kata haris sambil mengecup kening Ienchan."ka kalau uda pulang krja kesini ya? " " iya, ya uda y da sore tkt kepala toko marah ", "ati2 y ka,dde gak mau kehilangn kaka ", " kaka gakan kmana mana koaku de" . Deru laju sepeda motor haris semakin lama semakin hilang. Ienchan hanya tertunduk lesu menatap jalan yang sepi .
Haris yang di jalan masih saja memikirkan siapa "dia" yang dmaksud Ienchan dan tiba tiba haris nyaris menabrak orang.seketika haris membanting stir ke kanan menuju tanah lapang.Haris menoleh orang yang nyaris dia tabrak.Mukanya ditekuk tertutup topi ,menggunakan kaos POLO hitam clana jeans hitam .. Dia lari tergesa gesa mengetahui haris memandangnya
Dengan langkah gontai,Ienchan memasuki rumah.terasa hawa dingin yang menyeruak sekeliling rumah.seraya itu dia terbayang 5tahun yang lalu.ya,5 tahun yang lama yang telah merubah segalanya.rumah yang sekarang sangat berbeda dengan 5 tahun yang lalu.
Tanpa disadari air mata hangat menetes dipipi Ienchan.Dia seraya berlari menuju sebuah kamar.gelap dan pengap, dinyalakan lampunya dan terlihatlah jelas seisi ruangan itu.dia jatuhkan tubuhnya ke ranjang. diambilnya sebuah bingkai foto. Di pandangi dan dipeluk erat bingkai fto tersebut. Perlahan lahan dia memejamkan mata dan tertidur pulas.
BRAKKKKK !!Ienchan terbangun kaget mendengar suara tadi.Detak jantungnya berdetak cepat,nafasnya tersengal sengal,terlintas kejadian semalam .dia melihat kanan kiri.Ienchan bangkit dan didapati bingkai foto tadi kacanya pecah dan tergeletak di lantai.fto keluarga Ienchan dengan 2kakak laki lakinya di taman belakang.diambilnya foto tadi dan diletakan dimeja. Tanpa peduli pecahan kaca yang berserakan .Dia menuju kamarnya.lampu belum dinyalakan semenjak tadi sore,bahkan pintu depan dibiarkan terbuka daritadi malam.
Dia menuju dapur untuk minum.Sayup sayup terdengar decitan pintu dari lantai atas dilanjutkan derap langkah kaki yang mengendap endap."siapa diatas?" teriak Ienchan histeris.Ienchan berlari sambil membawa pisau dapur menuju lantai atas.Tak ada siapa siapa ,suara Ienchan terserak serak .Di lemparnya pisau asal ."brankk" disertai suara "BRAKK" pintu samping Ienchan dibanting.
sontak Ienchan kaget dan secepat kilat diambil kembali pisau tadi.dengan sisa keberanian dan gemetar dy membuka pintu yang tadi dibanting yang ternyata adalah ruang kerja ayah Ienchan.Ketika pintu dibuka terdengar decitan pintu.lampu dinyalakan,Ienchan kaget karna jendela terbuka padahal kamar ini tak pernah dipakai smenjak 4 tahun yang lalu.belum selesai Ienchan dengan kagetnya tiba tiba..
"hay,Ienchan ku sayang,tlah lama ku menanti disini .kemana sja kau? " ujar pria bertopi yang duduk di meja sembari kaki diletakkan dimeja. Mata Ienchan terbelalak mengetahui siapa pria bertopi itu. "ja.. Ja .. Jadi kamu .. !! " suara Ienchan meninggi. seakan ada keberanian yang muncul
"iya,aku .kenapa?kamu terkejut dengan kemunculanku .. " kata pria bertopi.
"apa yang terjadi.kenapa kamu lakukan ini padaku dan kemarin apa maksud.mu !! " bentak Ienchan.Tak ada rasa takut yang muncul.
"tenanglah,kemarin hanyalah kejutan kecil dariku,4thn sudah akut tak berjumpa,kenapa kau tak peluk aku?apa kau tak rindu padaku ? Dan kenapa kau pegang pisau ?" kata pria tadi sinis.
"setelah apa yang kau lakukan padaku kemarin dan sekarang ,tak akan pernah ku mau tuk memelukmu."
" haha .. Kau tak berubah masih saja seperti dulu."
" ya " jawab Ienchan mantap .
" haha hahahaha " pria tadi tertawa puas sambil menggoyang goyangkan kursi.
"kenapa tertawa ! Apa yang lucu ! Kaka macam apa kamu ! "
" kau masih anggap aku kakakmu ?",
" y..ya." jawab Ienchan ragu.
" haha akut bukan kakak adik lagi iin .. AKU tak mau kau anggap aku kakakmu .. "
" kita 1 keluarga "
" siapa bilang ? "
" apa maksud.mu ! Semenjak kak andi ma mamah meninggal karna kecelakaan disusul papah meninggal ! Kemana saja kamu ?!? "
" aku ? "
" yah, kamu kemana ?papah butuh kita ! Tapi..tapi.. Kamu pergi entah kemana dan sekarang kamu buat apa kembali ! " Ienchan menangis histeris.
" haha .. Andi sama si jablay itu ? Aku yang rencanakan mereka untuk mati .. "
" apa maksud perkataanmu "
" aku yang bunuh mereka "
"kenapa .. Kenapa .. Kau GILA!!. "
" haha .. aku gila ? Kau tahu kenapa ku lakukan ini ? Kau mau tahu kenapa ? " suara Pria tadi meninggi
"kenapa kak !! Kenapa !! Mamah ma kak andi salah apa? Mreka keluarga kita !! Mamah yang lahirin kita kak ! "
" haha .. AKU tak sudi punya ibu macam dia.Mereka bukan keluarga kita .. Dia itu jablay !! Dan si andi itu anak haram !! "
"Apa !! " mata Ienchan terbelalak .pisau yang sembari tadi di pegang jatuh
"kau terkejut? "
omong kosong macam apa yang sedang kau bicarakan ?!? "
"omong kosong ?!? Omong kosong kamu bilang ? " nadanya berubah,serasa tidak terima dengan kata2 Ienchan.
" yah , sekarang apa mau.mu kak !! Hah !! Kau ingin kan harta warisan ?! Silahkan kau miliki warisan dan seluruh kekayaan keluarga kita jika mau !! "
" kau tak percya dengan perkataanku !! "
" ya "
"Baiklah tak mengapa bukan masalah bgiku.Oh ya aku disini bukan meminta harta !! " tangannya memainkan pulpen di meja.
"lalu apa ? "
pria tadi melompat dari meja dan seketika berada dbelakang Ienchan
."apa .. Apa yang kamu lakukan ? " perkataan Ienchan jadi gagap dan gugup .Was was melihat tingkah polah kakaknya yang dia kira sudah gila.
"melakukan apa yang aku inginkan. "
pria yang dianggap kaka oleh Ienchan memeluknya erat.Didekatkannya bibir dia ke telinga Ienchan.
"Aku .. Ingin .. Kamu .. " ujar pria tadi berbisik .diusapnya bibirnya ke leher Ienchan.Secara reflek dia mengerang dan menampar sekeras kerasnya pipi kakaknya yang bejat.
" anj*nk !! " umpat pria tadi.
" kak tedy , kau keterlaluan . Aku ini adikmu !! Teganya kau perlakukan aku seperti ini ." Ienchan gemetar,menangis sejadi jadinya..
" kurang ajar beraninya kau tampar aku !! " tedy berang.diraihnya rambut Ienchan dan dijambak sekeras kerasnya .. Tubuh inchan didorong ke atas meja .Inchan kesakitan tak terkira .Didekatnya muka dia ke wajah Ienchan hingga jarak yang sangat dekat.
" kau tahu kenapa ku begini !! Aku cinta kamu !! Aku gak peduli itu bahwa kita sedarah dan mereka yang kau anggap ibu dan kakak itu mereka menghalangi niatku untuk dapatkan kamu dan secara kebetulan ku ketahui borok mereka semakin membuat ku nafsu tuk menyingkirkan mereka !! "
"lepaskan aku ! Aku gak tahu apa yang kamu katakan. " Ienchan bergerak sekenanya.tenaganya terkuras habis.air matanya pun sudah tak dapat keluar lagi.cengkraman tangan tedy tak kunjung mengendur.
" ibu kamu itu bukan ibu kandungmu kau tahu melainkan musuh ibu kandung kita.Dia itu selingkuhan papah .dan kakak kamu itu entah siapa bapaknya ,Sekarang dah tau kan !! "
bentak tedy sambil melempar Ienchan jatuh tersungkur.
" dia tak pantas jadi ibumu. "
" aku tak percaya denganmu sama sekali !!” teriak Ienchan histeris
"Wake me up,wake me up inside
wake me up inside
call my name and save me from the dark”
Lantunan reffain lagu bring me to life milik Evanescence menggema diseluruh ruangan.secara tiba tiba tubuh Ienchan berputar putar .entah ruangannya atau dianya yang berputar.Semakin lama semakin lama semakin cepat membuat Ienchan pusing dibuatnya. Semuanya berubah kabur dan putih.dan Ienchan mulai merasakan sesak nafas.seakan akan udara diruangan itu tersedot entah kemana.Ienchan merasa dicekik .
"hhhhhhaaahhhhhhhh .. " Ienchan terbangun dari tidurnya. Keringat mengucur deras layaknya sehabis olah raga.Sesaat Ienchan seperti orang hilang.linglung.dilihatnya jam dinding menunjukan 4 sore.suara Evanescence kembali terdengar dari alarm handphone dia,
“Fiuuw Ternyata Cuma mimpi” gumam Ienchan sembari meniup poninya.
-THE END -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar